Biografi Pahlawan Nasional: Abdul Halim Perdana Kusuma, Pejuang yang Gugur di Tanjung Hantu

Apa yang terpikirkan dalam benak kalian ketika disebutkan kata Halim Perdana Kusuma? Ingatan kalian pasti langsung melayang pada sebuah Bandara Internasional Halim Perdana Kusuma yang ada di Jakarta, yang juga dipakai sebagai Koops AU I (Komando Operasi Angkatan Udara I).

Nah, tahukah kalian kalau nama dari Bandara Internasional tersebut diambil dari nama tokoh pahlawan Indonesia yang gugur di Tanjung Hantu? Dalam topik biografi tokoh ini, mari kita ulas sekelumit sosok Abdul Halim Perdana Kusuma, yang keberadaannya dalam sejarah Indonesia hanya sebentar tapi perannya sangat penting ini.

Ringkasan Profil Abdul Halim Perdana Kusuma

Abdul Halim Perdana Kusuma lahir di Sampang, Madura, tanggal 18 November 1922. Setamatnya Sekolah Menengah Tingkat Pertama di MULO, Abdul Halim mendaftar di sekolah Pamong Praja Opleidingscholen Inlandsche Ambtenaren (OSVIA). Namun, belum sempat menamatkan pendidikannya, dia harus mengikuti misi Hindia Belanda. Dia mengikuti pendidikan bagian navian di Royal Canadian Air Force di dinas angkatan laut di Inggris. Abdul Halim baru dapat kembali ke Indonesia setelah Perang Dunia II selesai. Waktu dia pulang, Indonesia sudah dalam keadaan merdeka.

http://www.dbiografi.com
Abdul Halim Perdana Kusuma

Setelah Indonesia merdeka, Abdul Halim mendapatkan tanggung jawab sebagai Tentara Keamanan Rakyat pada Jawatan Penerbangan. Dalam perkembangannya, TKR Jawatan Penerbangan berubah menjadi Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Pada 1947, Abdul Halim ditugaskan untuk membina Angkatan Udara di Sumatera. Beliau juga pernah ditunjuk sebagai wakil AURI dalam komandemen pasukan bersama Iswahyudi.

Halim Perdana Kusuma bersama Iswahyudi ditugaskan terbang ke Bangkok untuk mencari bantuan obat-obatan dan peralatan untuk para pejuang Indonesia. Saat perjalanan pulang dari Bangkok, pesawat yang mereka kemudikan mengalami kerusakan berat. Pada saat itu, peralatan penerbangan yang ada belum memadai. Bahkan, pesawat yang ada pada waktu itu diperoleh dari sisa-sisa perang. Akhirnya, pesawat yang mereka tumpangi jatuh di Tanjung Hantu, Malaysia pada 14 Desember 1947. Jenazahnya kemudian dibawa ke Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Abdul Halim merupakan salah satu contoh pejuang yang setia menjalankan tugas negara. Tanggung jawabnya dalam menjalan tugas dapat menjadi teladang bagi ita semua. Untuk itulah, pemerintah Indonesia menganugerahi gelar pahlawan nasional pada dirinya. Pada 9 Agustus 1975, berdasarkan Keppres No. 63/TK/1975, namanya resmi dicatat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Tahukah kamu!

Untuk menghargai jasa Abdul Halim sebagai pahlawan Indonesia, pemerintah Indonesia menjadikan namanya sebagai:
  1. Salah satu bandara di Jakarta, yaitu Bandara Halim Perdana Kusuma.
  2. Salah satu nama jalan di ibukota Jakarta.
  3. Nama kapal perang, KRI Abdul Halim Perdana Kusuma.
Sumber:
Dbiografi

Panglima TNI: Penamaan Pahlawan Nasional - Usman dan Harun - untuk Kapal Perang TNI Takkan Diubah!

Pada 10 Februari 2014, Panglima TNI Jenderal Moeldoko menyatakan takkan mengubah nama KRI Usman Harun sebagaimana protes yang dilayangkan Singapura terkait nama kapal ini. "Tetap, nggak ada yang berubah," tutur Moeldoko di Kompleks Gedung Parlemen, Jakarta.

Beliau menjelaskan bila penamaan nama "Usman Harun" untuk kapal perang Indonesia sudah sesuai prosedur. Melansir dari Kompas (10/2/14), pemilihan nama kapal TNI AL ini diambil dari nama-nama para tokoh atau pejuang yang berjasa bagi Indonesia. Dengan kata lain pahlawan nasional Indonesia.

Panglima TNI: Penamaan Pahlawan Nasional - Usman dan Harun - untuk Kapal Perang TNI Takkan Diubah!
Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko | Kompas.

Dalam pandangannya, apa yang dijadikan soal oleh Singapura ini sudah lama selesai. Pada 1973, PM Singapura Lee Kuan Yew pernah menaburkan bunga di makam Usman dan Harun di Taman Makam Pahlawan, Kalibata, Jakarta Selatan. "Pemberian nama ini sudah lama, bukan kemarin-kemarin. Sebenarnya hubungan psikologis ini sudah dianggap selesai," tuturnya.

Singapura memprotes penamaan Usman dan Harun untuk KRI terkait kejadian tahun 1965. Ceritanya, dua orang Indonesia ini - Usman Haji Muhammad Ali dan Harus Said - pernah membom Singapura pada Maret 1965. Serangan ini salah satu bagian dari upaya yang dilakukan Presiden Sukarno dalam melawan federasi yang baru terbentuk di Malaysia, mencakup Singapura. Singapura memisahkan diri dari Malaysia tanggal 9 Agustus 1965. Kedua orang ini akhirnya dihukum mati di negara tersebut. Nah, untuk mengenang peristiwa yang dianggap heroik oleh bangsa Indonesia ini maka diputuskanlah untuk dikasihkan ke kapal perang.

Sementara itu, Djoko Suyanto selaku Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan mengatakan Indonesia punya otoritas dan pertimbangan matang untuk menghormati para pahlawannya. Hal ini termasuk juga mengabadikan nama kedua pahlawan nasional tersebut untuk kapal perang TNI. Tidak boleh ada satu negara pun mengintervensinya, termasuk Singapura.

Hein ter Poorten, Pilot Militer Pertama di Angkasa Nusantara

Hein ter Poorten, Pilot Militer Pertama di Angkasa Nusantara
Pria kelahiran Bogor ini meretas semua ucapan miring mengenai penerbangan dan mencetak sejarah di dalamnya.

Nama Hein ter Poorten dikenal dalam buku pelajaran sejarah Indonesia sebagai Panglima KNIL (Koninklijke NederlandscheIndische Leger) saat Jepang menyerang Hindia Belanda. Tapi tidak banyak yang tahu bahwa ter Poorten adalah pilot militer pertama yang terbang di langit Nusantara.

Lahir di Buitenzorg (Bogor) pada 21 November 1887 sebagai putra dari pasangan Franciscus Hendricus ter Poorten dan Clasina Ambrosina Kater. Tidak ingin mengikuti jejak ayahnya yang bekerja sebagai kepala pelabuhan, ter Poorten memutuskan masuk militer dan dididik di Belanda.

Awalnya di sekolah kadet Alkmaar, berlanjut ke Akademi Militer Kerajaan Breda, dan lulus sebagai letnan dua artileri pada 25 Juli 1908. Pada tahun itu, Eropa sedang euforia dunia penerbangan. Demo terbang Flyer (Model A) di Perancis telah memacu baik industri atau perseorangan untuk berlomba-lomba membuat dan menerbangkan pesawat terbang.

Sayangnya pihak militer masih tidak terlalu yakin tentang masa depan pesawat terbang, khususnya masalah keamanan yang telah meminta banyak korban pada awal perkembangannya. Tidak berbeda dengan militer Belanda/Hindia Belanda, hanya sedikit petinggi militer yang mau mendukung teknologi baru ini.

Berbeda sikap perwira-perwiranya yang justru bersemangat termasuk ter Poorten. Balon menjadi “mata” bagi artileri, dan sebagai perwira artileri ter Poorten telah memiliki brevet balon, tapi pesawat terbang merupakan hal berbeda dan teramat menarik perhatiannya. Maraknya demonstrasi terbang —termasuk berubahnya pandangan pihak milter— memacu semangatnya untuk masuk sekolah pilot dan mendapatkan brevet penerbang.

Atasannya mendukung walaupun dia terpaksa mengeluarkan uang sendiri untuk belajar karena KNIL tidak memiliki anggaran pada waktu itu. Salah satu sekolah pilot berkualitas, dan mahal, adalah sekolah pilot Bleriot. Lulus dari sana akan mendapatkan brevet prestise Aero Club de France (cikal bakal FAI/Fédération Aéronautique Internationale) dan pilot-pilot ini dibayar tinggi oleh pabrik pesawat untuk menerbangkan pesawat buatannya atau mendemonstrasikan terbang saat pameran kedirgantaraan.

Nama-nama seperti J.F. van Riemsdijk, Clëment van Maasdijk, dan Gijs Küller adalah pilot terkenal asal Belanda lulusan sekolah pilot Bleriot. Yang terakhir bahkan pernah mendemonstrasikan kemampuan terbangnya di Hindia Belanda pada Maret 1911.

Pilot militer pertama
Karena uang terbatas, ter Poorten memilih sekolah pilot Aviator di Antwerpen, Belgia. Harga memang berbanding lurus dengan kualitas. Berbeda dengan sekolah pilot Bleriot yang punya puluhan pesawat dan instruktur berpengalaman, Aviator hanya punya dua unit Farman Biplane, instrukturnya bahkan baru saja meraih brevet seminggu sebelumnya.

Salah satu pesawat itu akhirnya jatuh saat dikemudikan instruktur yang juga ikut tewas. Satu pesawat yang tersisa juga jatuh tak beberapa lama yang menewaskan salah satu siswanya. Aviator bangkrut tapi untungnya, pabrik pesawat Leon de Broucker mengambil alih sehingga pendidikan bisa diteruskan.

Letnan Satu ter Poorten akhirnya mendapat brevet yang diidam-idamkannya pada 30 Agustus 1911 dan menjadikannya sebagai pilot militer Belanda/Hindia Belanda yang pertama. Sebagai pembuktian, pada September 1911 dengan meminjam salah satu pesawat de Broucker Biplane, ter Poorten terbang selama satu setengah jam dari Belgia menuju Lapangan Terbang Pettelaar untuk ikut serta dalam pameran kedirgantaraan militer Belanda.

Keikutsertaanya dalam demonstrasi terbang ini dan prestasi sebagai pilot militer Belanda/Hindia Belanda yang pertama, membuat dirinya dianugrahi penghargaan Order of Orange-Nassau with Sword oleh Kerajaan Belanda.

Situasi Hindia Belanda ketika kepulangan ter Poorten masih diliputi suasana pesimis. Ini dikarenakan banyaknya informasi simpang siur seperti pendapat Kouzminsky yang gagal terbang dengan Bleriot XI di Batavia, menyatakan bahwa kegagalannya disebabkan kondisi tropis dan atmosfernya yang tidak cocok buat penerbangan.

Pendapat tersebut tidak ditelan mentah-mentah dan menganggap kegagalan itu lebih karena ketidakmampuannya. Tapi pendapat bahwa kelembaban tropis mempengaruhi daya tahan konstruksi kayu pada pesawat itu benar adanya. Oleh karena itu, tiga unit Deperdussin yang baru saja sampai, masih dalam peti kemas, dikirim kembali kepada de Broucker untuk menganti konstruksi kayu dengan baja.

Sayangnya proses modifikasi itu bersamaan dengan pecahnya Perang Dunia I sehingga terkatung-katung dan bahkan tak ada kabar sama sekali. Padahal lewat Surat Keputusan No. 39 telah terbentuk Bagian Terbang Percobaan KNIL/Proefvliegafdeling-KNIL (PVA-KNIL) pada 30 Mei 1914. Sebuah organisasi penerbangan militer tapi tak memiliki satu pun pesawat terbang!

PVA-KNIL berinisiatif membeli pesawat baru, tapi Eropa sedang sibuk demi kebutuhan perang. Satu-satunya alternatif adalah membeli dari AS. Komite PVA-KNIL yang terdiri atas Kapten Visscher dan Letnan ter Poorten berangkat ke San Fransisco pada akhir Januari 1915.

Selama tiga bulan berkeliling AS, mereka memutuskan pada tahap pertama membeli dua unit pesawat  tipe (Glenn) Martin TA Hydroplane. Pemilihan pesawat air ini sengaja dilakukan karena bisa dioperasikan tanpa perlu membangun lapangan terbang yang dinilai mahal, merepotkan, dan memakan waktu.

Selama di AS, ter Poorten terus berlatih terbang bahkan sempat memecahkan rekor lama terbang selama 3 jam 25 menit dari Los Angeles menuju San Diego. Ketika ter Poorten sibuk berlatih di AS, di Hindia Belanda, teknisi PVA-KNIL sibuk mempersiapkan bengkel di Tanjung Priok, Batavia.

Pada 18 Oktober 1915, komite tiba di Pelabuhan Tanjung Priok bersama dengan perwakilan dan mekanik Glenn Martin. Kedua pesawat dirakit selama tiga minggu dan pada 6 November 1915, ter Poorten berhasil melakukan penerbangan selama setengah jam dengan membawa penumpang yaitu mekanik Glenn Martin bernama Stevens. Penerbangan ini tercatat sebagai yang pertama di Hindia Belanda yang dilakukan oleh pihak militer.

Tulisan selengkapnya dapat dibaca di Majalah Angkasa edisi Desember 2012.
(Sudiro Sumbodo. Sumber: angkasa.co.id)

Biografi Pahlawan Nasional: Cut Nyak Dien Sang “Ratu Aceh”

Mendekati kekalahannya, Cut Nyak Dien terpojok! Namun, pejuang wanita yang masih ada keturunan Sultan Aceh ini menolak menyerah!

Ringkasan Biografi Cut Nyak Dien

Foto pahlawan nasional dalam biografi pahlawan nasional Cut Nyak Dien
Wikipedia.
Salah seorang tokoh pahlawan nasional kali ini, yang hendak saya ulas adalah sang “Ratu Aceh”. Siapa dia? Tak lain tak bukan adalah Cut Nyak Dien.

Ya, Cut Nyak Dien yang juga seorang pejuang asal Aceh ini lahir sekira tahun 1848 dari keluarga bangsawan Aceh. Menurut catatan sejarah Indonesia, Cut Nyak Dien masih memiliki garis keturunan langsung dari Sultan Aceh dari garis ayahnya. Di usianya yang masih belia, yakni 14 tahun, Cut Nyak Dien dinikahkan dengan Teuku Ibrahim Lamnga. Dari pernikahan ini lahir seorang anak laki-laki.

Ketika Perang Aceh meletus tahun 1873, Cut Nyak Dien berada di garis depan pertempuran melakukan perlawanan terhadap Belanda yang memiliki alutsista lebih lengkap dan modern. Namun, itu tak berarti, Cut Nyak Dien bisa ditaklukkan dengan mudah. Dalam masa periodenya, Belanda membutuhkan waktu selama bertahun-tahun untuk “menekannya” sampai dia dan anak buahnya memutuskan mengungsi ke daerah di Aceh yang lebih terpencil.

Suami pertama Cut Nyak Dien, Teuku Ibrahim Lamnga, gugur saat pecah perang di Sela Glee Tarun. Di sinilah, muncul tokoh pahlawan nasional lainnya, yakni Teuku Umar, yang kelak menjadi suami kedua bagi Cut Nyak Dien sekaligus rekan seperjuangan.

Bersama-sama, keduanya membangun kembali kekuatan untuk “menghajar” markas Belanda di sejumlah titik penting. Namun, duka kembali merundung Cut Nyak Dien. Pada 11 Februari 1899, kembali dia harus kehilangan orang yang disayanginya saat Teuku Umar gugur di medan perang. Kekuatan militer pasukan Cut Nyak Dien pun melemah. Mereka hanya bisa menghindar dari tekanan Belanda yang terus mengejar.

Tak hanya pasukan yang melemah, rupanya kondisi fisik dan psikis Cut Nyak Dien pun turut drop. Walaupun, tetap saja dia dan pasukannya melakukan pertempuran demi pertempuran. Melihat situasi yang genting, Pang Laot Ali sang panglima perang berdiskusi dengan Cut Nyak Dien mengenai penyerahan dirinya kepada Belanda. Tujuannya supaya Belanda tak mengganggu rakyat Aceh lagi. Namun, Cut Nyak Dien marah. Dia memerintahkan untuk terus bertempur sampai akhir.

Karena kekuatan militer pasukan Cut Nyak Dien melemah, pihak Belanda dengan mudah menangkapnya. Namun tidak dibunuh. Hal ini demi menghindari konflik yang lebih luas akibat pengaruh Cut Nyak Dien yang cukup kuat terhadap rakyat Aceh. Karena itu, pihak Belanda mengasingkannya ke Jawa Barat, tepatnya ke Sumedang. Di sinilah Cut Nyak Dien berada, hingga akhir hayatnya mengajar agama Islam. Tak ada masyarakat sekitar yang mengetahui siapa dia sebenarnya.

Pada 6 November 1908, ketika pergerakan nasional Indonesia dimulai, Cut Nyak Dien menghembuskan napas pungkasan di tempat pembuangannya. Hingga tahun 1960-an, tak ada yang mengetahui secara pasti di mana makam Cut Nyak Dien berada. Baru setelah Pemda Aceh dengan sengaja melakukan penelusuran makamnya pun ditemukan.

Perjuangan Cut Nyak Dien yang pantang menyerah membuat seorang penulis Belanda, Ny Szekly Lulof, terinsiprasi sekaligus kagum. Dia pun lantas menjuluki Cut Nyak Dien sebagai "Ratu Aceh". Demikianlah, ringkasan biografi pahlawan nasional: Cut Nyak Dien. Semoga memberi manfaat!

Diadaptasi dari Angkasa