Sejarah Kopassus Indonesia Habisi Lima Pembajak Pesawat

Militer Indonesia – Pada 31 Maret 1981, nama Kopassus Indonesia menjadi pasukan khusus TNI AD berhasil terangkat ke jajaran pasukan elite dunia setelah berhasil melakukan operasi pembebasan sandera DC-9 Woyla. Keberhasilan ini membuat dunia tercengang. Pasalnya, TNI yang belum memiliki pasukan khusus antiteror berhasil membabat habis lima pembajak tanpa melukai satu pun sandera dalam tempo tiga menit.

Sebenarnya, operasi ini tidak diperkirakan berhasil. Kepala Operasi Pembebasan Sandera Letjen Benny Moerdani menilai kesempatan berhasil hanya 50:50. Itulah mengapa, dia telah menyiapkan 17 peti mati dalam operasi ini. “Rupanya, perkiraan ini meleset. Hanya butuh 5 peti mati saja, yang semuanya diperuntukkan bagi para pembajak,” ungkap Letkol Sintong Panjaitan yang memimpin operasi tersebut, dalam buku biografinya, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando yang ditulis Hendro Subroto dan diterbitkan Penerbit Buku Kompas (2009).

Lima pembajak yang berhasil ditembak adalah Abdullah Mulyono, Wendy Mohammad Zein, Zulfikar, Mahrizal dan Abu Sofyan. Diceritakan bahwa Abdullah Mulyono berusaha merebut tim penyerbu. Tapi, dia ditendang keluar dan terpeleset melalui peluncur. Mulyono langsung ditembak oleh sub-tim yang telah berjaga di bawah moncong pesawat.

Kopassus Indonesia

Sementara itu, Wendy Mohammad Zein ditembak di tempat, dekat pintu darurat. Pembajak lainnya, yaitu Zulfikar, berusaha kabur melalui sayap. Sayang upayanya tidak berhasil karena keburu kepergok tim luar pesawat dan tubuhnya dihantam timah panas M-16. Perlawanan sengit dilakukan Mahrizal yang sempat menembak jatuh seorang anggota tim, Capa Ahmad Kirang, tepat di bagian bawah perut. Dia juga berhasil menembak anggota tim lainnya yang untungnya mengenai bagian rompi antipelurunya. Tim kopassus Indonesia langsung membalas tembakan Mahrizal. Peluru yang dimuntahkan senapan MP5 mengenai tepat tubuh Mahrizal. Dia meregang nyawa tepat di dekat pramugrari.

Pembajak terakhir, yaitu Abu Sofyan, berusaha meloloskan diri dengan menyamar sebagai penumpang yang dievakuasi keluar pesawat. Seorang penumpang mengenalinya dan memekik. Sontak itu membuat Abu Sofyan kelimpungan dan langsung melarikan diri. Dengan mudah, pasukan antiteror menembaknya. Tewaslah dia seketika.

Meskipun berhasil, misi heroik itu diwarnai duka. Sebab, Capa Ahmad Kirang dan Kapten pilot Herman Rante meninggal dunia beberapa hari berikutnya di rumah sakit setelah tertembak peluru pembajak. Keduanya dimakamkan di Taman Pahlawan Nasional. Kopassus mendirikan monumen Ahmad Kirang di Markas Sat-81 Gultor Cijantung. [BM | Merdeka | Kaskus]

Mati Tertembus Penembak Jitu Belanda, Nama Soeroso Diabadikan Nama Jalan di Cianjur

Jalan Suroso merupakan kawasan super macet di Cianjur pada jam-jam sibuk. Maklumlah, di jalan ini terdapat Pasar Induk yang menjadi tempat beraktivitas utama sehari-hari masyarakat di sana. Hal ini diperparah dengan jejeran angkutan kota, sado, becak, hingga ojek yang ngetem di Pasar Induk. Selain itu, tidak adanya petugas kepolisian yang melancarkan lalu lintas juga menambah buruk lalu lintas di jalan ini.

Tapi bukan itu yang mau saya ceritakan dalam kisah sejarah lokal. Bagi mahasiswa jurusan sejarah, tentu tahu apa yang saya maksud dengan sejarah lokal ini. Sejarah lokal adalah sejarah Indonesia yang tidak masuk dalam tabulasi periodisasi sejarah nasional, karena sifat kedaerahannya – kurang lebih begitulah maksudnya. Dalam kesempatan kali ini, saya ingin bercerita tentang sejarah kenapa jalan ini bisa dinamai Jalan Suroso ini?

Soeroso, pahlawan Indonesia, yang ditembak penembak jitu Belanda dijadikan nama jalan di Cianjur.
Foto diambil dari Garudamiliter.

Ada yang tahu? Jadi sekira 68 tahun silam, di salah satu sudut jalan ini, seorang Indonesia mati ditembak oleh penembak jitu serdadu Belanda. Nama Indonesian ini adalah Soeroso (ejaan sekarang Suroso). Siapa Soeroso ini?

Soeroso merupakan pengikut setia Tan Malaka. Loyalitas ini membuatnya diangkat sebagai pemimpin Lasykar Barisan Banteng kawasan Cianjur, terlebih pemimpin sebelumnya Mochamad Ali (juga diabadikan sebagai nama salah satu jalan di Cianjur) meninggal mendadak. Masa kepemimpinannya, ia menggerakkan Lasykar Barisan Banteng dengan lebih radikal dan militan. Ini dibuktikan dengan makin kerapnya markas militer Belanda di kawasan Joglo (kini Toserba Slamet, Markas PM, dan Kodim 0608) dijadikan bulan-bulanan hampir tiap malam.

Belanda mengambil langkah antisipasi supaya keadaan tidak makin kacau dengan menjebak pria yang dijuluki Jawara Barba Cianjur ini. Skenario yang dibuat adalah mengundang Soeroso ke wilayah Satoe Doeit oleh seorang Indonesia pengkhianat yang diduga antek NICA. Di tengah-tengah makan siangnya, tempat pertemuan ini digerebek satu peleton tentara NICA. Tidak berbasa-basi, Soeroso melawan untuk meloloskan diri dari kepungan militer Belanda.

Dia berhasil kabur sampai di pertigaan Ampera (kini deipan persis Pasar Induk dan Studio Radio Sturada), ketika seorang penembak jitu Belanda tengah mengekernya dari balik teleskop senjata snipernya. Dan dorr... Soeroso terjengkang ke tanah. Mati seketika ia! Teman-temannya langsung mengamankan jasad pria kelahiran Jawa Tengah itu untuk dimakamkan di Panembong.

Artikel Militer Indonesia ini ditulis ulang dari artikel Garuda Militer.

Cerita Teladan dari Edi Sudradjat, Jenderal TNI Bergaya Sederhana

Sudah bukan rahasia lagi jika saat ini gaya hidup mewah sudah biasa kita lihat di kalangan petinggi TNI. Meski demikian, ada juga mereka yang hidup bersahaja, apa adanya. Salah satu di antaranya adalah alm. Edi Sudradjat yang bisa dijadikan cerita teladan bagi kita semua. Gaya sederhananya bisa dilihat saat masih berpangkat Kolonel, di mana dia masih belum memiliki rumah dan numpang tidur di mess yang berada di lingkungan asrama prajurit.

Bahkan setelah berpangkat jenderal sekalipun, dia tidak pernah tidur di hotel jika mengunjungi anak buahnya di daerah. Paling-paling, mantan Pangab merangkap Menhankam ini akan tidur di barak tentara. Semewah-mewahnya, ya, di mess perwira.

Cerita teladan dari Edi Sudradjat, jenderal TNI bergaya hidup sederhana.

Ada cerita menarik, ketika Edi Sudradjat bersama-sama Sintong Panjaitan bertandang ke Vietnam untuk mengunjungi fasilitas militer di sana. Sintong mengatakan jika Edi Sudradjat sangat terkesan dengan para serdadu Vietnam yang dinilainya terkoordinir dengan baik, profesional, serta mempunyai kemampuan tempur yang sangat baik. “Dari sisi penampilan, tentara Vietnam memang kurang meyakinkan. Tapi, jangan lihat seragam mereka ... Lihat kemampuan tempur dan persenjataan mereka yang hebat!,” ujar Sintong, yang blog Militer Indonesia kutip dari Garudamiliter.

Yang menjadi perhatian Edi Sudradjat bukan hanya itu, melainkan panji milik serdadu Vietnam yang berada di barak. Panji itu bertuliskan: “Takutlah hanya kepada rakyat!” Melihat itu, dia langsung membisiki tSintong, “Tong, ini baru namanya tentara, kita harus mencontoh mereka…” pungkasnya.

Cerita Sejarah dari Petarung Siliwangi tentang Si Werling

Militer Indonesia - Cerita sejarah ini diambil dari tulisan Hendi Jo yang diposting di blog Garuda Militer tentang seorang petarung Siliwangi bernama Atjep Abidin - kini berusia 91 tahun. Dalam medio masa yang dikenal dengan istilah pergerakan nasional, dia adalah petarung Siliwangi yang dengan sengaja "ditanam" oleh pasukan induk untuk mengganggu kawasan pendudukan selepas Divisi Siliwangi pergi ke Yogyakarta.

Cerita sejarah seorang petarung Divisi Siliwangi tentang Si Werling yang membantai 18 orang republik di Takokak.
Hendi Jo dan Atjep Abidin (sersan purn.) saksi pembantaian 18 orang di Takokak.

Kawasan gerilyanya adalah Takokak - sebuah wilayah di Cianjur yang persis berbatasan dengan Sukabumi. Empat bulan pasca-Jawa Barat ditinggal Divisi Siliwangi, di suatu siang, dia melihat dari jarak sekira 200 meter truk militer Belanda berhenti tepat di pinggir jalan dekat hutan daerah Pasawahan.

"Mereka ada tiga orang, yang terdiri dari dua orang militer Belanda dan satu orang pribumi," ungkap Mbah Atjep dua minggu lalu kepada Hendi Jo yang Blog Militer Indonesia kutip dari Garuda Militer.

Saat truk berhenti, salah satu di antara dua militer Belanda itu turun dan pergi ke bagian belakang truk. Di sana, dia menurunkan kurang lebih 18 orang republik dengan kasar. Militer Belanda dengan badan tegap berpakaian loreng, berbaret hijau, dan senjata laras panjang itu menendangi orang-orang republik yang dirantai itu sampai tersungkur di bawah truk.

Si pribumi ini kemudian bergerak secara beriringan ke Jalan Lima - kawasan hutan tutupan yang tak jauh dari jalan besar. Sekitar 15 menit meninggalkan jalan, terdengar suara tembakan. Setengah jam berikutnya, si pribumi dan serdadu Belanda itu muncul kembali, langsung naik truk. Selepas itu mereka bergerak meninggalkan hutan.

Mbah Atjep mengungkapkan jika si pribumi bernama Ateng (kaki tangan NICA). Sedangkan si serdadu Belanda disebutnya dengan nama Si Werling.

Apakah ada kemungkinan si Werling ini yang dimaksud Sersan (Purn.) Atjep itu adalah Kapitan Raymond Piere Westerling - si algojo KST (Korps Speciaale Troepen) - yang sohor akan kebrutalannya dalam menangani kaum republik. Hendi Jo mengaku belum bisa memastikannya.

Satu hal yang pasti adalah pada 17 April 1948, ada laporan yang dibuat Mayor KL R.F. Schill (komandan pasukan 1-11 RI di Tasikmalaya) untuk atasannya, Kolonel KL M.H.P.J. Paulissen. Laporan ini memuat kekesalan Schill terhadap ulah anak buah Westerling yang antara tanggal 13 dan 16 April 1948 diketahui membantai 10 orang penduduk sipil Tasikmalaya dan Ciamis. Kemudian mereka membiarkan mayat-mayat ini teronggok begitu saja di jalanan tanpa diurus.

Kebrutalan pasukan KST dan pemimpinnya (Westerling) bocor ke media, sehingga memicu protes keras di Belanda sana juga. Pada 16 November 1948, kira-kira dua setengah tahun memimpin pasukan DST (Depot Speciaale Troepen, yang diubah menjadi KST), Westerling dipecat dari jabatannya dan dinas kemiliteran. Orang yang menggantikannya adalah Letnan Kolonel KNIL W.C.A. van Beek.

Pasca-dipecat, Westerling banting stir jadi pengusaha sayur di Pacet - daerah yang terletak 90 km dari Takokak. Mungkinkah Westerling ini sama dengan Si Werling yang dimaksud Mbah Atjep?

Ditulis ulang dari artikel Hendi Jo sumber Garudamiliter.

[Sejarah Indonesia] Cerita Panjang Industri Pesawat Terbang Indonesia

Saat ini kita mengetahui bahwa BUMN PTDI (PT Dirgantara Indonesia) didirikan oleh Presiden Soeharto tanggal 26 April 1976. Di mana, kala itu PTDI masih bernama PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio. Pada 11 Oktober 1985, namanya berubah menjadi IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara).

Industri yang punya pabrik di kawasan kompleks Bandara Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat ini, sejak 1976 telah mengembangkan dan memproduksi banyak tipe pesawat dan juga helikopter. Di masa jayanya, PTDI mempunyai karyawan sebanyak 16 ribu orang.

Tahukah, sebenarnya industri pesawat Indonesia mempunyai sejarah yang panjang? Dalam catatan sejarah Indonesia, PTDI sudah dimulai sejak zaman kolonial Belanda, tepatnya di tahun 1904.

Cikal bakal PTDI sudah dimulai sejak seorang Belanda bernama Ir Onnen meneliti terbang layang berbahan baku bambu di Sukabumi tahun 1904 (dalam sejarah Indonesia tahun itu juga dikenal sebagai tahun penanda Kebangkitan Nasional rakyat Indonesia).

[Sejarah Indonesia] Cerita Panjang Industri Pesawat Terbang Indonesia
Ilustrasi gambar pesawat jadul.

Bagaimana selengkapnya, yuk simak seperti dikutip dari Detik.

"Seorang Belanda, Ir Onnen melakukan penelitian terbang layang dengan bahan baku bambu tahun 1904 di Sukabumi,” kata Direktur Niaga dan Restrukturisasi PTDI Budiman Saleh di Kantor Pusat PTDI di Bandung, akhir pekan lalu.

Proses pengembangan pesawat di tanah air terus berkembang. Pada tahun 1923, di era Hindia Belanda dikembangkan pusat pengembangan pesawat di daerah Sukamiskin, Bandung.

“Ini merupakan awal berdirinya industri pesawat terbang di Tanah Air. Ir D.S. Gaastra sebagai Dirut,” jelasnya.

Selanjutnya fasilitas ini dipindahkan oleh pemerintah kolonial Belanda ke wilayah Andir Bandung. Pemindahan ini dilanjutkan dengan perluasan fasilitas perakitan pesawat untuk mengantisipasi invansi Jepang.

Selanjutnya pada tahun 1935, pusat pengembangan ini berhasil menyelesaikan dan melakukan pengiriman pesawat baling-baling bermesin ganda PW2 kepada seorang pengusaha.

“Pesawat bermesin ganda PW2 pesanan pengusaha roti Khouw Khe Hien, berhasil diterbangkan dari Batavia (Jakarta) ke Amsterdam dan London pada tahun 1935,” terangnya.

Pengembangan pesawat di Indonesia terus berlanjut meski memasuki era kemerdekaan. Pada masa kemerdekaan, terjadi pengambilalihan fasilitas penerbangan milik Belanda di Andir, Bandung serta bengkel pesawat di Maguwo Yogyakarta dan Maospati, Madiun.

Pada periode kemerdekaan, pada tahun 1946-1948, Biro Perencana Kontruksi Pesawat TNI AU (saat itu TRI AU) berhasil membuat pesawat layang jenis Zoging dan Nurtanio-Wiweko Glider (NWG). Saat itu, ahli pesawat asal Indonesia antara lain Wiweko Supono, Nurtanio Pringgoadisuryo dan Sumarso.

“Kemudian pada tahun 1948 membuat Wiweko Experimental Light Plane (WEL X/RIX-1)," kata.

Pengembangan pesawat terus belanjut, di bawah Nurtanio, Indonesia mampu memproduksi pesawat latih dan layang seperti kumbang, kunang, belalang 85 dan belalang 90. Pengembangan pesawat tersebut berada di bawah periode Presiden Soekarno.

Memasuki pergantian presiden, akhirnya sejak tahun 1976 didirikan PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio. Hingga kini, PTDI telah berhasil mengembangkan berbagai jenis pesawat seperti: NC212, CN235, N250, N2130 hingga CN295.

Sedangkan helikopter, PTDI menggandeng produsen dunia untuk merakit jenis NBO 105, NBELL 412, NAS 330 Puma, NAS 332 Super Puma. Pada masa puncaknya atau sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1998, PTDI pernah memiliki hingga 16.000 pekerja. Saat ini, total karyawan PTDI hanya mencapai 4.231 orang.

Biografi Pahlawan Nasional: Abdul Halim Perdana Kusuma, Pejuang yang Gugur di Tanjung Hantu

Apa yang terpikirkan dalam benak kalian ketika disebutkan kata Halim Perdana Kusuma? Ingatan kalian pasti langsung melayang pada sebuah Bandara Internasional Halim Perdana Kusuma yang ada di Jakarta, yang juga dipakai sebagai Koops AU I (Komando Operasi Angkatan Udara I).

Nah, tahukah kalian kalau nama dari Bandara Internasional tersebut diambil dari nama tokoh pahlawan Indonesia yang gugur di Tanjung Hantu? Dalam topik biografi tokoh ini, mari kita ulas sekelumit sosok Abdul Halim Perdana Kusuma, yang keberadaannya dalam sejarah Indonesia hanya sebentar tapi perannya sangat penting ini.

Ringkasan Profil Abdul Halim Perdana Kusuma

Abdul Halim Perdana Kusuma lahir di Sampang, Madura, tanggal 18 November 1922. Setamatnya Sekolah Menengah Tingkat Pertama di MULO, Abdul Halim mendaftar di sekolah Pamong Praja Opleidingscholen Inlandsche Ambtenaren (OSVIA). Namun, belum sempat menamatkan pendidikannya, dia harus mengikuti misi Hindia Belanda. Dia mengikuti pendidikan bagian navian di Royal Canadian Air Force di dinas angkatan laut di Inggris. Abdul Halim baru dapat kembali ke Indonesia setelah Perang Dunia II selesai. Waktu dia pulang, Indonesia sudah dalam keadaan merdeka.

http://www.dbiografi.com
Abdul Halim Perdana Kusuma

Setelah Indonesia merdeka, Abdul Halim mendapatkan tanggung jawab sebagai Tentara Keamanan Rakyat pada Jawatan Penerbangan. Dalam perkembangannya, TKR Jawatan Penerbangan berubah menjadi Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Pada 1947, Abdul Halim ditugaskan untuk membina Angkatan Udara di Sumatera. Beliau juga pernah ditunjuk sebagai wakil AURI dalam komandemen pasukan bersama Iswahyudi.

Halim Perdana Kusuma bersama Iswahyudi ditugaskan terbang ke Bangkok untuk mencari bantuan obat-obatan dan peralatan untuk para pejuang Indonesia. Saat perjalanan pulang dari Bangkok, pesawat yang mereka kemudikan mengalami kerusakan berat. Pada saat itu, peralatan penerbangan yang ada belum memadai. Bahkan, pesawat yang ada pada waktu itu diperoleh dari sisa-sisa perang. Akhirnya, pesawat yang mereka tumpangi jatuh di Tanjung Hantu, Malaysia pada 14 Desember 1947. Jenazahnya kemudian dibawa ke Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Abdul Halim merupakan salah satu contoh pejuang yang setia menjalankan tugas negara. Tanggung jawabnya dalam menjalan tugas dapat menjadi teladang bagi ita semua. Untuk itulah, pemerintah Indonesia menganugerahi gelar pahlawan nasional pada dirinya. Pada 9 Agustus 1975, berdasarkan Keppres No. 63/TK/1975, namanya resmi dicatat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Tahukah kamu!

Untuk menghargai jasa Abdul Halim sebagai pahlawan Indonesia, pemerintah Indonesia menjadikan namanya sebagai:
  1. Salah satu bandara di Jakarta, yaitu Bandara Halim Perdana Kusuma.
  2. Salah satu nama jalan di ibukota Jakarta.
  3. Nama kapal perang, KRI Abdul Halim Perdana Kusuma.
Sumber:
Dbiografi

[Sejarah Indonesia] Patung Dirgantara: Warisan Terakhir Bung Karno

“Dhi, saya mau membuat Patung Dirgantara untuk memperingati dan menghormati para pahlawan penerbang Indonesia. Kau tahu kalau Bangsa Amerika, Bangsa Soviet, bisa bangga pada industri pesawatnya. Tetapi Indonesia, apa yang bisa kita banggakan? Keberaniannya!!!” (Percakapan Bung Karno dengan Edhi Sunarso di teras belakang Istana Negara, Jakarta, 1964).

Kehadiran monumen Patung Dirgantara di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan sejak tahun 1970-an bukan hanya sebagai salah satu ikon terpenting ibukota. Namun ironisnya, tidak semua orang mengenal penggagas dan pembuatnya, apalagi memahami gagasan dan permasalahan yang melatarbelakangi proses pembuatannya.

Untuk memahami lebih dalam kisah nyata di balik proses pembuatan Patung Dirgantara, penulis melakukan wawancara langsung dengan Edhi Sunarso (82), pematung legendaris kepercayaan Presiden Sukarno di kediamannya di Jl. Kaliurang Km 5,5 No. 72 Yogyakarta. Edhie yang mantan dosen pasca sarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini sekurun waktu 1945-1950 juga pernah terlibat dalam perjuangan fisik menjaga kemerdekaan RI.

[Sejarah Indonesia] Patung Dirgantara: Warisan Terakhir Bung Karno

Bertemu Bung Karno

Sejarah Indonesia mencatat pertemuan Edhi Sunarso dengan Bung Karno dimulai pada kesempatan peresmian “Tugu Muda” Semarang tahun 1953 yang dikerjakan oleh Sanggar Pelukis Rakyat pimpinan Hendra Gunawan, Edhi Sunarso bertemu dengan Bung Karno. Kala itu Bung Karno menghampiri Edhi dan berkata, “Selamat ya, sukses.” Edhi terdiam bingung mendapat ucapan tersebut. Beberapa hari kemudian ia baru tahu kalau dirinya menjadi juara kedua lomba seni patung internasional yang diselengarakan di London dengan judul “Unknown Political Prisoner”.

Usai menyelesaikan pembuatan relief Museum Perjuangan di daerah Bintaran Yogyakarta tahun 1959, Edhi dipanggil Bung Karno untuk menemuinya di Jakarta. Panggilan tersebut sempat membuatnya terkejut. Dalam hati Edhi bertanya-tanya ada kepentingan apa Bung Karno memanggilnya ke Jakarta. Selain dia, dua seniman lainnya, yaitu Henk Ngatung dan Trubus juga mendapat panggilan serupa.

Pagi-pagi Edhi sudah sampai di Istana Merdeka, Jakarta. Ia disambut kepala rumah tangga kepresidenan dan kemudian menuju teras belakang istana. Kira-kira pukul 07.00 pagi Bung Karno yang masih mengenakan piyama datang menemui Edhi.

"Selamat pagi, sudah pada minum teh?" sapa Bung Karno ramah. Tanpa basa-basi Bung Karno kemudian meminta Edhie untuk membuat sketsa Patung Selamat Datang dalam rangka menyambut para atlet dan ofisial Asian Games yang akan datang ke Jakarta. "Saya minta patungnya dibuat dari perunggu setinggi sembilan meter. Nanti akan saya letakkan di bundaran depan Hotel Indonesia," lanjut Bung Karno.

Beberapa saat kemudian Henk Ngantung dan Trubu datang bergabung. Bung Karno kemudian memperagakan ide patung selamat datang yang ia inginkan. "Begini lho," ujar Bung Karno sambil mengangkat tangannya melebar ke atas, ke kanan dan kiri. “Selamat datang, selamat datang para olahragawan ke Indonesia,” demikian Bung Karno menjelaskan.

Bung Karno kemudian meminta Edhie menjadi ketua tim pelaksana serta meminta Henk Ngantung dan Trubus untuk membantu. Edhie yang saat itu baru memiliki pengalaman membuat patung batu, memberanikan diri berbicara. “Pareng matur Pak. Sebenarnya saya belum pernah membuat patung perunggu. Jangankan setinggi sembilan meter, sepuluh sentimeter saja belum pernah,” ujar Edhi terus terang.

"Eeh, saudara Edhi. Kamu punya rasa bangga berbangsa dan bernegara tidak? Saya kira kau punya itu. Saya pernah dengar kalau kamu pernah menjadi pejuang dan dipenjara Belanda. Iya ndak? Iya kan?” kata Bung Karno. Edhi hanya bisa mengiyakan pertanyaan Bung Karno. "Kalau begitu, kamu tidak bisa bilang gak bisa. Kau harus bilang sanggup!” tegas Bung Karno sambil tertawa.

Seperti terkena sihir, akhirnya Edhi menyanggupi permintaan Bung Karno. Usai mengerjakan Monumen Patung Selamat Datang, ia pun masih diminta untuk membuat Monumen Bebaskan Irian Barat di Lapangan Banteng dan diorama Monas. Tahun 1964 Bung Karno kembali meminta Edhi membuat Monumen Patung Dirgantara yang saat ini lebih populer dengan sebutan Patung Pancoran.

Pahlawan Dirgantara

Dari sekian banyak proyek pembuatan monumen dari Bung Karno, Edhie mengakui kalau pembuatan Patung Dirgantara nyaris mandek. Patung Dirgantara dimaksudkan Bung Karno untuk menghormati jasa para pahlawan penerbang Indonesia yang atas keberaniaannya berhasil melakukan pengeboman terhadap kedudukan Belanda di Semarang, Ambarawa, dan Salatiga menggunakan pesawat-pesawat bekas peninggalan Jepang.

"Kita memang belum bisa membuat pesawat terbang, tetapi kita punya pahlawan kedirgantaraan Indonesia yang gagah berani. Kalau Amerika dan Soviet bisa membanggakan dirinya karena punya industri pesawat, kita juga harus punya kebanggaan. Jiwa patriotisme itulah kebanggaan kita! Karena itu saya ingin membuat sebuah monumen manusia Indonesia yang tengah terbang dengan gagah berani, untuk menggambarkan keberanian bangsa Indonesia. Kalau dalam tokoh pewayangan seperti Gatotkaca yang tengah menjejakkan bumi,” ujar Edhie Sunarso mengenang perkataan Bung Karno panjang lebar.

Bung Karno meminta Edhie untuk memvisualisasikan sosok lelaki gagah perkasa yang siap terbang ke angkasa. Bahkan Bung Kano kemudian berpose sambil berkata, “Seperti ini lho, Dhi. Seperti Gatotkaca menjejak bentala.”

Setelah model Patung Dirgantara selesai, Edhie mengusulkan kepada Bung Karno agar patung yang rencananya berbentuk seorang manusia yang memegang pesawat di tangan kanannya diubah. "Pak, dengan memegang pesawat di tangan kok terlihat seperti mainan," ujar Edhie. "Bagaimana kalau di tangan kanannya tidak usah ada pesawat. Cukup dengan gerak tubuh manusia saja, didukung gerak selendang yang diterpa angin,” lanjut Edhie. “Yo wis Dhi, nek kowe anggep luwih apik yo ora usah dipasang. Ora usah digawe,” jawab Bung Karno.

Pembuatan monumen Patung Dirgantara sempat terhenti karena terjadi peristiwa G30S/PKI. Di satu sisi Edhie juga sudah tidak memunyai bahan-bahan, dan tidak memunyai uang lagi untuk melanjutkan pekerjaan. Ia bahkan menanggung utang kepada pemiliki bahan perunggu dan kepada bank. [Kolonel Sus M. Akbar Linggaprana]

Sumber:
Angkasa

[Sejarah Indonesia] Kisah Kopassus Indonesia yang Siram Orang Papua Nugini di KBRI

Ada sebuah kisah yang cukup menarik dari anggota Kopassus Indonesia yang bertugas menjaga KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) di Port Moresby. Cerita ini termuat di dalam buku Kopassus untuk Indonesia karya Iwan Santosa dan EA Natanegara yang terbitan R&W.

Diketahui jika keadaan di Port Moresby begitu mencekam. Di mana, kriminalitas sangat tinggi di sana. Terlebih masyarakat di sana punya hobi mabuk-mabukan. Karena itu, atas pertimbangan hal tersebut, pada 1993, pemerintah Indonesia mengirimkan personel Kopassus untuk menjaga KBRI dan wisma KBRI.

[Sejarah Indonesia] Kisah Kopassus Indonesia yang Siram Orang Papua Nugini di KBRI

Tadinya sebelum ada Kopassus, tidak ada yang berani mengingatkan staf lokal KBRI yang notabene adalah orang-orang lokal Papua Nugini. Satu kali pernah terjadi sewaktu ditegur, seorang staf lokal justru memanggil teman-temannya dan mengeroyok orang yang menegurnya itu.

Adalah Serka Margono, seorang personel Kopassus TNI AD yang sempat bertugas di sana sekurun 1993-1994. Dia bercerita ada seorang staf lokal yang pernah coba-coba kurang ajar di hadapannya. Staf lokal itu datang ke KBRI dengan mata merah dan mulut berbau alkohol. Kemudian duduk begitu saja di bawah tiang bendera KBRI dengan mata nyalang menatapnya - seolah menantang Serka Margono. Serka Margono pun segera menegurnya.

"Saya tegur sekali, dua kali, dia tidak mau pergi. Saya mengambil air dan saya siram dia. Saya ajak berkelahi, dia tidak berani. Dia kemudian pergi ngeloyor sambil ngomel-ngomel," tukas Margono.

Keadaan Port Moresby memang rawan, sehingga para personel Kopassus ini diharuskan selalu siaga. Toko-toko di sana cuma buka sampai jam 6 sore. Setelah itu, rampok bakalan berkeliaran di jalanan yang sepi. "... Perusahaan-perusahaan yang mampu selalu menyewa tenaga petugas keamanan swasta," tutur Margono.

[Sejarah Indonesia] Usaha Percobaan Pembunuhan Sukarno Oleh Maukar - Bagian 2

Bagi yang langsung membaca artikel ini, perlu diinformasikan ada artikel bagian pertama di "[Sejarah Indonesia] Usaha Percobaan Pembunuhan Sukarno Oleh Maukar - Bagian 1"

Inilah Saatnya

Sebetulnya aksi penembakan melalui pesawat Mig-17 ini zonder persiapan sama sekali. Hal ini dikatakan Daniel Maukar untuk menegaskan betapa buruknya koordinasi saat itu. Hanya ambil peta untuk mencari wilayah Panembangan, membikin garis-garis koordinat, selesai. Kekurangan persiapan ini merupakan kelalaian yang berakibat buruk, karena pasca menembaki Istana Bogor, ia kehilangan arah hingga akhirnya mendarat darurat di areal persawahan.

9 Maret 1960, di pagi hari cuaca cerah mengiringi denyut nafas kehidupan Jakarta. Tak terkecuali aktivitas yang dilaksanakan di Skadron Udara 11 yang berpangkalan di Kemayoran.  Seperti biasa, latihan sudah menjadi kegiatan rutin skadron tempur ini. Apalagi secara politis, Indonesia sedang dalam masa konfrontasi dengan Belanda terkait masalah Irian Barat. Namun, pagi itu Dani tidak terlihat di antara rekan-rekannya. Ternyata ia pergi ke Bandung sehari sebelumnya menemui Sam Karundeng (salah seorang pimpinan Brigade Manguni) dan Herman Maukar. Kunjungan itu dilakukan sebagai tahap persiapan terakhir. Oleh karena itu ia sengaja membawa pesawat MIG-15 untuk melancarkan rencananya.

Pagi hari sekira pukul 04.30, tanggal 9 Maret, Dani diantar Kapten Komarudin, Teknisi Kepala di Skadron 11 ke Lanud Hussein Sastranegara untuk balik ke Jakarta. Sekira pukul 06.00, Dani berlalu dari Bandung bersama Rob Lucas—temannya Herman yang dua tahun menetap di Belanda untuk urusan bisnis. Tak lama kemudian pesawat sudah mendarat di Kemayoran. Dani lantas larut dalam aktivitas harian skadron. Seorang perwira mengatakan padanya bahwa hari itu Mayor Udara Leo Wattimena memerintahkan untuk melakukan penerbangan supersonik (supersonic flight).

[Sejarah Indonesia] Usaha Percobaan Pembunuhan Sukarno Oleh Maukar - Bagian 2
Inilah Mig-17 AURI bernomor 1162 yang dipakai Maukar/

Mengenai cara menerbangkan pesawat hingga kecepatan supersonik dengan MIG-17 yang jelas-jelas subsonik, Leo Wattimena selanjutnya menjelaskan. Untuk mencapai supersonik pesawat harus dibawa ke ketinggian 36.000 kaki, kemudian dengan full throttle pesawat ditukikkan ke bawah hingga mencapai kecepatan suara. Sementara bintara di ruang operasi menyusun list penerbang hari itu. Tiger callsign bagi Letnan Dua Udara Daniel Maukar menempati urutan terakhir list. Tiap-tiap pesawat diberi jeda waktu selama sejam. Sembari menunggu giliran, Dani beristirahat secukupnya. Ia masih sempat bertemu iparnya Captain Edi Tumbelaka, seorang pilot Garuda.

Ketika jam menunjukkan pukul 11.45, Dani tahu bahwa gilirannya telah tiba. Ia mengambil sebuah helm dan dibawanya menuju pesawat MIG-17F Fresco nomor 1112. Pandangannya diarahkan ke selatan, melihat kondisi alam, langit sedikit berawan waktu itu namun hari tetap cerah. Dipandu teknisi, Dani memeriksa kesiapan pesawat lantas naik ke kokpit.

"Kemayoran tower, good morning from Tiger, do you read me?"

"Good morning Tiger. This is Kemayoran tower, read you five by five (loud and clear), come in."[1]

"Tiger local flying. Request to start engine, over."

 "Roger, Tiger, you are cleared to start engine."[2]

Sedetik kemudian Dani melongok kepada teknisi yang berdiri di samping kanannya untuk mengonfirmasi penyalaan baterai. Pesawat dinyalakan dan turbin mesin menggelegar. Dani memerhatikan tachometer bergerak dari angka 2.000, 3.000 dan 4.000 rpm. Perlahan ia mendorong  ke bawah fuel level dan membuka throttle secara bertahap  untuk mencapai tenaga penuh. Setelah memeriksa power, giliran flaps, air brakes, trims, controls hood, cockpit pressurizing system, oxygen mask dan blinker indicator, ia memberi tanda segalanya siap.

"Kemayoran tower, from Tiger, over."

"Roger Tiger, come in."

"Tiger request taxi and take off instructions, over."

"Roger. Taxi to holding position of runway in use one seven. Wind easterly 25 knots. Altimeter setting 75,8 centimeters. Please call back on holding position." Maukar pun menutup kanopi dan selanjutnya mengenakan safety belt lock.

"Kemayoran tower, Tiger on holding position, ready to go, over."

"Roger, Tiger, you are cleared for take off."

Menurut penjelasan yang diberikan, Daniel Maukar harus membawa pesawat heading ke selatan Jakarta. Akan tetapi ia memiliki rencana lain, setelah sempat menanyai seorang personel pangkalan yang habis mengambil bensin di sebuah pangkalan bahan bakar di depan Istana Merdeka pada pagi, apakah bendera kuning berkibar. Dan ketika yang ditanya berkata tidak, ia yakin presiden Soekarno sedang tidak ada di Istana.

Sasaran pertama yang akan menjadi sasaran tembaknya ialah kilang minyak Shell di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Dani mengarahkan pesawatnya ke timur ketika ketinggian pesawat mencapai 4.500 kaki. Kemudian mengaktifkan tombol senjata, flipped on gunsight. Tangki-tangki minyak Shell Oil sudah di depan mata, persis di sisi kiri jalurnya. Ketika itu posisi tangki 90 derajat dari sisi kiri ketika Dani menukik. Sudut terbaik untuk menembak adalah 60 derajat, namun sepertinya sudah tidak ada waktu. Jarinya menekan trigger.

Det… det… det… det… 3.500 kaki, 3.000, 2.800, gun sight berhenti pada baris pertama tangki, pada ketinggian 2.400 kaki. Berondongan kanon Nudelman-Rokhter NR-23 kaliber 23 mm itu ternyata kurang sempurna, terlihat dari tracer yang jatuh di depan target. Tidak ada kesempatan untuk mengulangi, Dani menggerutu sambil mengarahkan pesawat ke selatan untuk membuat belokan.

Karena tahu ada larangan pesawat melintas di atas pusat kota, Dani membawa pesawat terbang rendah (tree top) untuk menghindari deteksi radar. Ia berada di atas Pasar Senen dan dari kejauhan Istana sudah terlihat. Pesawat terbang lurus ke selatan membelah Jalan Sabang dengan ketinggian 3.600 kaki. Selepas berbelok Istana terlihat di sebelah kiri dan Dani sudah dalam track yang benar. Ketinggian diturunkan dan sedetik kemudian ia kembali menghujani jalan-jalan Jakarta dengan tembakan dari sudut tembakan 45 derajat. Dani sempat melihat tembakan keduanya ini mengenai pilar-pilar di sisi kanan Istana Merdeka dan merontokkan kaca-kaca besar di belakang pilar tersebut.

Suara mesin Klimov VK-1F afterburning turbo jet seperti merontokkan jantung warga Jakarta siang bolong itu. Karena setelah menembak, Dani langsung pulled up dan menyalakan afterburner untuk segera kabur, meninggalkan suara menggelegar yang menakutkan. Di bawah nampak keramaian lalu lintas dan sedikit kemacetan. Pesawat kembali membuat belokan tajam dan dengan sengaja Dani kembali mengarahkan pesawat ke selatan, persisnya di atas Jalan Sabang. Saat itulah Dani tanpa sadar merasa grogi, tangannya terasa basah, ada perasaan tidak enak di hatinya.

Pesawat dikebut ke selatan dan dalam lima menit ia sudah di atas Bogor. Target terakhir ini cukup gampang ditemukan. Walau sudah ada rasa malas untuk menembak, Dani tetap merampungkan misi terakhirnya. Dani menghabiskan semua peluru kanon 37 mm di hidung pesawat setelah beberapa kali macet. Tidak seperti Istana Merdeka, tembakan kali ini tidak mengenai satu pun gedung Istana. Dani membawa pesawat menanjak ke ketinggian 18.000 kaki dan mengambil heading Bandung.

Tiba-tiba, "Tiger, Tiger, from Kemayoran tower, over." Panggilan itu berkali-kali menyahut di telinga Dani, namun tidak dibalas. "Tiger, Tiger, if you read me please check your fuel." Dani tetap bungkam, karena sekali ia membalas posisinya akan diketahui. Radio dimatikan. Pesawat melaju cukup kencang menuju Bandung. Benak Dani bergalau. Ia membayangkan reaksi Molly apabila tahu apa yang sudah dilakukannya. Pun membayangkan reaksi sang ayah. Hingga ia tidak menyadari sudah terbang jauh, tanpa kendali arah. Ketika tersadar, ia tidak tahu persis berada di mana. Namun Dani yakin, ia pasti sudah mendekati Garut.

Sesuai rencana, Dani harus menemukan enam titik api unggun, tiga di kiri tiga di kanan, sebagai tanda landing site. Tapi apa lacur, di bawah ia melihat begitu banyak api unggun. Sepertinya petani sedang membakar gabah dan asapnya membumbung di mana-mana. Ketimbang pusing, Dani ambil langkah tepat ke selatan, berharap jatuh di laut. Ketinggian mulai diturunkan. Karena buruknya persiapan, memang tidak pernah ada komunikasi antara Bandung dengan tim penunggu di Garut. Jarak yang jauh untuk dicapai lewat darat. Tim yang mestinya ke Malambong untuk berkoordinasi, menurut Dani juga tidak pernah berangkat. Sampai akhirnya MIG-17 yang diterbangkannya mendarat darurat di persawahan Kadungoro, Leles, Garut, Jawa Barat[3] setelah tiga kali overhead untuk memastikan lokasi pendaratan.

Setelah menurut perhitungan yang pasti bahwa pesawat itu tidak melampaui batas waktu terbangnya. Maka kepada pangkalan-pangkalan Angkatan Udara Husein Sastranegara dan Halim Perdanakusumah diperintahkan untuk mencari pesawat tersebut. Sebelumnya belly landing, Dani sudah menyiapkan pistolnya. Senjata ini akan digunakannya untuk bunuh diri seandainya pesawat terbenam lumpur saat pendaratan. Namun, belum sampai bunuh diri, ia keburu ditangkap tentara yang telah mencarinya dengan melakukan penyisiran wilayah Garut. Setelah ditangkap, sore harinya Komandan Lanud Tasikmalaya Kapten Sumantri dan Letnan Subaryono serta seorang perwira teknik datang mengunjunginya.

Di Jakarta, kekacauan segera terjadi sesaat setelah aksi Dani. Berita mulai tersebar, termasuk di lingkungan AURI. Anehnya, tidak satu pun tuduhan langsung terarah ke Dani. Begitu pun keluarga Maukar di daerah Menteng, tak ada prasangka apa-apa. Di kepala sang Ayah, itu pasti ulah Sofyan, anak Padang yang punya sedikit masalah dengan pemerintah. Sampai ketika dipanggil Provost AURI pun, sang ayah tenang-tenang saja. Ketika ditanya pendapatnya soal insiden yang terjadi hari ini, sang ayah hanya menjawab, "Orang itu harus bertanggung jawab!"

"Itu anak Bapak." Suara provos itu bagai petir di siang bolong di telinga Karel Herman Maukar. Daniel Alexander Maukar pun ditetapkan sebagai tersangka dan ditangkap.

Pengadilan Militer

[Sejarah Indonesia] Usaha Percobaan Pembunuhan Sukarno Oleh Maukar - Bagian 2
Maukar dalam persidangan militer.

Terkait peristiwa ini, beragam pendapat mulai muncul. Kolonel Siswadi berpendapat bahwa peristiwa Maukar adalah suatu fragmen saja dari aksi subversif yang sedang berkecamuk di negeri ini.[4] Pada 11 Maret 1960, sekira pukul 09.30, KSAU Suryadarma beserta 120 orang perwira penerbangan AURI menghadap ke Istana Merdeka. Letnan Kolonel Penerbang Omar Dhani mewakili Korps Penerbang AURI menyampaikan pernyataan di hadapan Presiden Soekarno, sebagai berikut:[5]

  1. Menyesal sebesar-besarnya atas terjadinya pengkhianatan terhadap tanah air yang telah membawa korban rakyat.
  2. Merasa salah, kurang waspada terhadap usaha-usaha memperalat kami untuk menghilangkan kepercayaan rakyat yang telah diberikan kepada kami.
  3. Sanggup mengadakan tindakan-tindakan mencegah terulangnya kejadian.
  4. Tetap patuh kepada Presiden/Panglima Tertinggi dan bersedia menerima segala hukuman.

Sebagai bentuk pertanggung jawabannya, KSAU Suryadarma mengundur diri, namun permintaan tersebut ditolak Presiden Soekarno. Pada sore harinya giliran Komandan Skadron 11 Mayor Udara Leo Wattimena, datang menemui Suryadarma. Ia menyatakan siap menerima tanggung jawab atas ulah anak buahnya.

Sementara itu, 10 Maret 1960, Asisten Direktur Penerbangan AURI Mayor Udara Agus Suroto, langsung mengumumkan bahwa Pengadilan AURI Daerah Pertempuran akan mengadili Letnan Udara II Daniel Alexander Maukar.[6] Meskipun pada kenyataannya Maukar mulai diadili 20 Juli 1960.[7] Setelah melalui persidangan yang memakan waktu cukup panjang Letnan Udara II Daniel Alexander Maukar dijatuhi hukuman mati, tetapi pelaksanaan eksekusi urung dilakukan. Di saat yang hampir bersamaan, hampir sebagian gerombolan Brigade Manguni diadili.

Dalam periode 11-15 Februari 1961, sekira 11.343 orang dari Brigade Manguni, anggota Persatuan Wanita Permesta (PWP) dan orang-orang lima pangkalan gerilya di Langoan-Kakas, di bawah pimpinan Laurens Saerang, menyerah kepada Republik.[8] Diterangkan pula oleh Mr. Azwar Karim, Penuntut Umum, tujuh orang anggota Brigade Manguni yang bergerak di Jawa Barat akan diadili tanggal 23 Mei 1960. Instruksi Komando Daerah Militer Djakarta Raya, di Pengadilan Negeri Istimewa Djakarta Raya, di bawah pimpinan Hakim Mr. I Made Lapde.[9] Ketujuh anggota itu adalah Jossy Talumena, Tielaque Henry Tombeng, Uthu, Jeffrie Tumumowu, Wim Molte dan Willem Elean, Jan Tampi, Marcus Sia.[10] Mereka ini dituduh melanggar staadblad tahun 1951 No. 78 pasal 1 ayat 1 dan diancam dengan hukuman mati, yaitu memiliki dan menyimpan senjata api dan sekurun waktu 1959-1960 mengadakan rapat untuk makar di Jalan Lamandow Kebayoran Baru dipimpin oleh Samuel Karundeng.[11]

Pada 22 Juni 1961, Presiden Soekarno mengeluarkan surat keputusan presiden no. 322 tahun 1961 yang berisi pemberian amnesti dan abolisi kepada para pengikut gerakan Permesta yang telah memenuhi panggilan pemerintah kembali ke pangkuan ibu pertiwi.[12] Dani pun termasuk salah satu orang yang mendapat amnesti presiden. Ia diampuni Soekarno tahun 1964. Namun baru betul-betul dibebaskan Maret 1968, pada era Soeharto setelah melalui pelbagai proses bolak-balik. Sebagai KSAU, Suryadarma, banyak membantu Dani, sejak proses persidangan hingga dibebaskan. Sampai pada suatu hari, ayahnya secara tidak sengaja bertemu dengan Suryadarma. Kepada Suryadarma, Karel Maukar menyampaikan terima kasih atas kebaikan yang dilakukan Suryadarma terhadap anaknya. (Selesai)

[Footnote]
[1] Ibid., Angkasa.com.
[2] Ibid., Angkasa.com.
[3] Harian Rakjat, 11 Maret 1960.
[4] Harian Rakjat, 18 Maret 1960.
[5] Harian Rakjat, 12 Maret 1960.
[6] Harian Rakjat, 18 Maret 1960.
[7] Harian Rakjat, 13 Juni 1960.
[8] Barbara Sillars Harvery, Op.Cit., hlm. 186.
[9] Harian Rakjat, 13 Maret 1960.
[10] Harian Rakjat, 24 Mei 1960
[11] Harian Rakjat, 24 Mei 1960.
[12] Permesta. Tanggal akses 8 Desember 2008.

Daftar Rujukan

I. Buku
Barbara Sillars Harvey, Permesta; Pemberontakan Setengah Hati, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989.
Baskara T. Wardaya, SJ, Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin, 1953-1963, Yogyakarta: Galang Press, 2008.
Mangil Martowidjojo, Kesaksian tentang Bung Karno, Jakarta: Grasindo, 1999.
Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, Jakarta: Balai Pustaka, 1993.
Maulwi Saelan, Dari Revolusi ’45 sampai Kudeta ’65: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa, Jakarta: Yayasan Hak Bangsa, 2001.
Ruslan, dkk., Mengapa Mereka Memberontak? Dedengkot Negara Islam Indonesia, Yogyakarta: Ombak, 2008.
Tim Penulis, 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Jakarta: PT Citra Lamtoro Gung Persada, 1986.

II. KORAN
Harian Rakjat, 10 Maret 1960.
Harian Rakjat, 11 Maret 1960.
Harian Rakjat, 12 Maret 1960.
Harian Rakjat, 18 Maret 1960.
Harian Rakjat, 13 Maret 1960
Harian Rakjat, 24 Mei 1960.
Harian Rakjat, 13 Juni 1960.

III. INTERNET
Permesta. Tanggal akses 8 Desember 2008.
Super Milan. Tanggal akses 6 Desember 2008.
Gocities. Tanggal akses 16 November 2008.
Angkasa Online, edisi 10 Juli 2007. Tanggal akses 5 Desember 2008.
Angkasa Online, edisi 9 Juni 2007. Tanggal akses 5 Desember 2008.

[Sejarah Indonesia] Usaha Percobaan Pembunuhan Sukarno Oleh Maukar - Bagian 1

Menurut sejarah Indonesia, Presiden Sukarno sempat mengalami 5 kali usaha percobaan pembunuhan. Salah satunya dilakukan oleh Maukar. Siapa Maukar dan bagaimana kisah usaha pembunuhan ini? Berikut ceritanya, selamat membaca.

***

Last Tiger di Langit Jakarta

Pada 9 Maret 1960, sekira pukul dua belas lebih dua puluh menit siang hari, sebuah pesawat tempur jenis Mikoyan-Gurevich MIG-17F Fresco nomor 1112 melayang-layang rendah dengan kecepatan tinggi di langit Jakarta dari arah tenggara. Arah yang ditujunya adalah Istana Merdeka. Pesawat itu diidentifikasi milik Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).

Sesampainya di atas Istana Merdeka, pesawat terbang tersebut melepaskan serentetan tembakan mitraliyur ke arah halamannya dengan peluru kanon 23 mm. Mengenai apa saja yang bisa dikenainya: kantor telepon, halaman rumput istana, tangga dan pilar istana, mobil, bahkan manusia. Sesudah menembaki istana tersebut, pesawat tersebut naik lebih tinggi ke atas dan melakukan manuver memutar. Setelahnya melepaskan lagi serentetan tembakan ke arah sasarannya yang sama.

[Sejarah Indonesia] Usaha Percobaan Pembunuhan Sukarno Oleh Maukar - Bagian 1
Pesawat Mig-17 yang dipakai Maukar.

Orang-orang Jakarta yang berada di dekat lokasi kejadian kontan terkesiap melihatnya. Mereka yang ada di dalam gedung perkantoran segera berhamburan keluar disertai rasa ketakutan dan penasaran akan apa yang tengah terjadi. KSAU Marsekal Suryadarma yang tengah rapat di gedung Dewan Nasional, Dr. Soebandrio (Menteri Luar Negeri pada waktu itu) yang sedang rapat di Departemen Luar Negeri, bahkan Presiden Soekarno sendiri yang tengah memimpin rapat di gedung Dewan Nasional—kira-kira 20 meter dari arah istana, keluar untuk memeriksa keadaan.

“Istana ditembak!” Demikian histeris yang terdengar, berhasil menyiutkan nyali setiap orang. Selepas menembaki istana, pesawat itu mengarah ke barat, meninggalkan kepulan asap hasil tembakannya yang masih membumbung tinggi-tinggi ke atas langit.

Dalam sebuah berita yang dikabarkan oleh Harian Rakjat keesokan harinya, tertanggal 10 Maret 1960, aksi brutal pesawat ini mengakibatkan sekurang-kurangnya delapan belas orang terluka. Di Istana Merdeka sendiri ada empat orang korban luka-luka, yaitu seorang pegawai istana dan seorang pekerja pengapur tembok istana terkena tembakan di kakinya, seorang pegawai telepon istana dan seorang pejalan kaki yang sedang berjalan di depan kantor Pertamina turut menjadi korban. Sementara sebuah mobil yang sedang melintas di dekat Istana Merdeka juga tertembus peluru pada bagian bagasinya.[1] Empat belas korban lainnya merupakan korban yang berada di kawasan Cilincing, yang siang itu dirawat di RSUP. Sepuluh nama para korban yang berhasil dicatat di pekabaran ialah para wartawan Harian Rakjat. Di antaranya Eman, Sarah, Surjati, Anim, Djuhri, Simiadi, Emik, Purwa, Ojok dan Suratmin.[2]

Ternyata MIG-17 itu, sehabis menembaki Istana Merdeka, masih melanjutkan pekerjaannya yang belum tuntas. Penembakan ini sendiri direncanakan di tiga titik, meliputi: tangki bahan bakar di Tanjung Priok (Cilincing), Istana Merdeka (Istana Kepresidenan) dan Istana Bogor.[3] Selepas menunaikan tugasnya, pesawat ini lantas direncanakan kabur ke arah Bogor dan mendaratkan pesawatnya di kawasan yang sudah ditentukan. Di mana sang pilot telah diatur untuk diselamatkan oleh pihak DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Namun, tak sempat sampai di tempat yang dituju, pesawat sudah mendarat darurat di sekisaran Leles, Garut, Jawa Barat, karena kehabisan bensin. Dan ketika tertangkap semua orang terkejut, siapa nyana penembak sekaligus pilot pesawat itu adalah anggota AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia), yang mempunyai kode panggilan: Tiger.[4]

Siapa Tiger?

Tiger adalah nama kode panggilan yang diberikan kepada Maukar oleh pangkalan AURI, sebelum ia melesat di udara untuk sebuah sesi latihan menerbangkan pesawat. Di kalangan AURI, Maukar memang relatif cukup dikenal. Dia berpangkat Letnan II Pnb dan termasuk salah seorang pilot AURI terbaik pada masanya. Kariernya di dunia penerbangan dimulai ketika ia mendaftarkan diri masuk ke AURI, sesudah gagal masuk mendaftar sebagai pilot Garuda karena tidak memenuhi persyaratan kesehatan.

[Sejarah Indonesia] Usaha Percobaan Pembunuhan Sukarno Oleh Maukar - Bagian 1
Daniel "Tiger" Maukar tengah.

Maukar lahir di Bandung pada 20 April 1932. Nama lengkapnya adalah Daniel Alexander Maukar. Orang tuanya bernama Karel Herman Maukar (ayah) dan Enna Talumepa (ibu). Meskipun masih berdarah Manado, Sulawesi Utara, dan dengan kultur Manado yang tetap dipertahankan dalam kehidupan keluarganya, sesungguhnya ia cukup jauh dari adat-istiadat Manado. Ia adalah anak ketiga dari lima bersaudara: Paula, Herman, Daniel, Nancy dan Vivi—di mana masing-masing dari kelimanya menyandang nama keluarga Maukar, yang dipakai di belakangnya.

Darah dan jiwa keprajuritan diturunkan dari garis tradisi ayahnya. Ia adalah polisi berpangkat ajun komisaris besar, dan pernah menjabat Acting Kepala Polisi Jakarta. Maukar mengeyam pendidikan formal di Sekolah Dasar (SD) Akebono Jatinegara, Jakarta Timur. Selulusnya dari sana, ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) K (Kristen). Setamatnya SMP K Dani hendak melanjutkan ke Sekolah Menengah Pelayaran, namun urung dilakukan sebab Karel Herman Maukar menganjurkannya untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA). Alasan ini membuat Dani memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke SMA Gang Batu.

Ihwal ketertarikannya pada dunia penerbangan bermula saat ia duduk di bangku kelas 3 SMA—umur yang tepat bagi seseorang menetapkan cita-citanya. Suatu hari di Bandara Kemayoran, ada pameran mengenai pesawat, bahkan ada undian tiket joy flight dengan pesawat Convair milik Garuda. Dani memenangkan salah sebuah tiket tersebut. Semenjak itulah ia mengaku keranjingan dengan hal-hal yang berbau penerbangan dan pesawat. Bahkan selulusnya dari SMA ia sudah punya cita-cita: menjadi pilot. Karena itu ia mendaftar seleksi masuk sekolah pilot di Garuda. Sayangnya gagal lolos karena tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Kegagalan ini membuat Dani bekerja demi mengisi kekosongan waktu. Pekerjaan yang dilakoninya adalah menjadi agen polisi selama rentang waktu 1952-1954. Dua tahun berikutnya, Dani ikut tes kembali, tetapi tidak di Garuda. Ia mendaftarkan dirinya di AURI dan diterima, tepatnya pada 1 Januari 1956. Dari sini Dani memulai langkah baru di AURI dengan mengikuti latihan dasar kemiliteran di Margahayu, Bandung, Jawa Barat.

Dua tahun berselang (awal 1958), ketika Permesta sedang gencar-gencarnya melakukan aksi-aksi pemberontakan, Dani telah menyandang brevet penerbang AURI. Tak lama sesudah itu ia ditempatkan di Skuadron 3, sebelum akhirnya harus berangkat ke Palembang untuk melaksanakan misi show of force terhadap elemen PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) yang masih bertahan. Usai melakukan dinas di Palembang Maukar terpilih untuk dikirim ke Mesir. Pemilihan untuk mengirimnya ke sana penuh dengan suatu kerahasiaan yang cukup rumit. Ada fakta yang menyebutkan bahwa keberangkatannya ke Mesir adalah untuk menyelesaikan misi lain. Ada pula yang mengatakan bahwa pihak AURI khawatir kalau Maukar ditarik masuk ke Permesta—kelak ketakutan ini menjadi kenyataan. Apalagi sejumlah laporan menunjukkan Dani sudah diincar Permesta. Selama di Mesir, tanpa sepengetahuannya, dirinya terus diawasi agar terhindar dari orang-orang yang tidak dikehendaki.[5]

Maukar dikirim bersama dengan enam penerbang lainnya, di antaranya Sukardi, Ibnoe Subroto, Saputro, Sofyan Hamzah, Kuncoro Sidhi dan Dani. Rombongan kecil ini dipilih sebagai upaya menyiapkan awak bagi MIG-17 yang dipesan AURI dari Uni Soviet (kini Rusia). Persis 1 Mei 1958 rombongan kecil ini lantas diberangkatkan ke Mesir. Mereka berada di Mesir selama 6 sampai 7 bulan dan berakhir di tanggal terakhir bulan November. Dari Mesir, mereka berpindah ke Polandia untuk materi night fighter.[6]

Sekelumit Mengenai Dewan Manguni

Seperti sudah disebutkan di atas, semasa pendidikan Maukar di AURI, suhu perpolitikan di Indonesia medio 1957-1960 memanas. Dua pergolakan yang besar di daerah munculnya. Pertama, pada 2 Maret 1957, Permesta dideklarasikan oleh H.N. Ventje Sumual. Disusul setahun berikutnya, pada 15 Februari 1958, PRRI didirikan. Penyebab kemunculan pergolakan-pergolakan ini adalah ketidakpuasan masyarakat, khususnya tentara, di daerah bersangkutan terhadap kebijakan pemerintah pusat.

Beberapa tuntutan yang diinginkan yaitu: (1) perbaikan yang progresif dan radikal terhadap masalah pimpinan negara, (2) penyelesaian kericuhan dalam pimpinan Angkatan Darat, (3) pemberian otonomi seluas-luasnya bagi Pemerintah Daerah Sumatera Tengah, dan (4) menghapuskan kecenderungan “sentralisme” dalam birokrasi yang menyebabkan “stagnasi”  dan “korupsi” dalam pembangunan.[7] Akan tetapi, bahkan sebelum PRRI pecah pada bulan Februari 1958, fokus protes pemberontakan sebenarnya telah berpindah dari Nasution dan kepemimpinan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) ke Presiden Soekarno dan pendukungnya yang beraliran kiri.[8]

Tuntutan ini semakin memburuk karena peristiwa Cikini. Pada 30 November 1957 dilakukan usaha percobaan pembunuhan Soekarno yang pertama kalinya. Peristiwa ini membikin kondisi didaerah-daerah yang sudah tidak tenang menjadi bergejolak.[9] Selanjutnya hal ini memberi ilham kepada beberapa orang pemimpin militer di Sulawesi untuk menyatukan para bawahan. Sebagaimana Majalah Tempo mencatat:

Sumual mengajak mereka bersatu. Ia sendiri gerah melihat anak buahnya hidup berdesakan di tangsi-tangsi kumuh. “Maka lahirlah Perjuangan Semesta,” katanya. Sumual yang diangkat menjadi “Panglima Permesta”, membacakan “proklamasi” di kantor Gubernur Sulawesi di Makassar pada pagi 2 maret 1957.[10]

Prosesi tercetusnya proklamasi Permesta, dipaparkan dengan baik oleh Barbara Sillars Harvey dalam bukunya Permesta, Pemberontakan Setengah Hati:

Pada tengah malam 1 Maret itu, orang-orang sipil terkemuka di Makassar dibangunkan dari tidur mereka oleh pasukan berseragam membawa undangan untuk satu pertemuan di Gubernuran; ke tempat itulah mereka akan dibawa dengan segera.[11]

Sekitar lima puluh orang berkumpul dalam pertemuan itu, yang secara resmi dibuka pukul tiga subuh oleh Komandan TT-VII, Sumual. Ia membacakan proklamasi keadaan darurat perang di Indonesia Timur.[12]

Daerah inti Permesta adalah di Sulawesi: di Makassar, tempat perencanaan proklamasi itu dan di Minahasa, di ujung utara dari pula itu, tempat rakyat dalam satu tahun mempersiapkan diri melawan pemerintah pusat di bawah bendera Permesta.[13]

Ketika Permesta resmi dideklarasikan, Dewan Hasanuddin, yang tidak jadi terbentuk, dan Dewan Manguni turut bergabung sebagai bagian di dalamnya. Dewan Manguni terbentuk atas inisiatif Kapten GK. Montolaw dkk. pada akhir 1956. Pimpinan dewan itu terdiri atas Henk. L. Lumanauw (Ketua), A.C.J. Mantiri (Direktur Pelayaran Rakyat Indonesia, Manado) dan Hein Montolalu sebagai anggota serta Jan Torar (Sekretaris).[14] Setelah itu Dewan Manguni yang bergabungnya di Permesta mengubah namanya menjadi Brigade Manguni sebagai bagian dari satuan-satuan otonomi di dalam organisasi militer Permesta. Didapuk sebagai pimpinannya adalah Laurens Saerang.

Brigade Manguni inilah yang kemudian dituding sebagai dalang dibalik aksi penembakan dari udara yang dilakukan oleh Maukar. Beberapa sumber menyebutkan, setelah melalui beberapa pertempuran-pertempuran sengit di Sulawesi, pada akhirnya posisi Permesta mulai melemah. Ini terjadi sesudah Kotamobagu berhasil dikuasai tentara-tentara pemerintah pusat pada September 1959. Akan tetapi, kekalahan itu tidak mutlak disebabkan kejatuhan Kotamobagu saja. Faktor terpentingnya adalah perpecahan di dalam tubuh Permesta itu sendiri. Perpecahan itu meletus mengenai beberapa masalah pokok: penempatan satuan-satuan militer; pengambilalihan sikap terhadap bagian pemberontakan yang dilangsungkan di Sumatera, terutama setelah proklamasi Republik Persatuan Indonesia (RPI) pada Februari 1960; serta perundingan-perundingan dengan pemerintah pusat.[15] Selain itu, perpecahan itu juga terjadi akibat ketidakcocokan pribadi.[16]

Pada 1961, Pemesta menyatakan kembali ke pangkuan ibu pertiwi (Indonesia), sesudah pihak pemerintah pusat menyerukan kepada pihak Permesta untuk kembali ke Republik. Kemudian dalam periode 11-15 Februari 1961, 11.343 orang dari Brigade Manguni, anggota Persatuan Wanita Permesta (PWP) dan orang-orang dari Lima pangkalan gerilya di Langoan-Kakas, di bawah pimpinan Laurens Saerang, menyerah kepada Republik. Mereka diterima dalam suatu upacara resmi pada 15 Februari 1961 oleh Mayor Jenderal Ahmad Yani.[17]

Brigade Manguni Mendekati Maukar

Dalam medio sebelum kembalinya pihak Permesta ke Republik Indonesia, mereka melakukan pendekatan secara sistematis kepada Maukar. Pendekatan tersebut dilakukan oleh pihak Brigade Manguni yang telah menyebarkan jaringannya sampai ke Jakarta.

Daniel Alexander Maukar melakukan aksi pemboman dan penembakan dengan pesawat MIG-17-nya, karena dipicu sebuah rasa kecewa terhadap presiden. Namun, gosip-gosip yang beredar di tahun-tahun itu menyebutkan pemicu utamanya adalah karena Molly—tunangan Maukar—yang “digoda” oleh Soekarno. Lain lagi dengan yang diwartakan koran-koran sekurun 1960-an, yang menyebutkan ayah Maukar, Karel Herman Maukar, ditangkap dengan tuduhan menyimpan senjata api.[18] Aksi ini disponsori oleh teman-teman Maukar di Brigade Manguni yang ada di Jakarta. Brigade Manguni secara tidak langsung berada di bawah pimpinan Ventje Sumual dan Sam Karundeng.

Pada akhir 1958, selepas kepulangannya dari Mesir, Daniel Maukar mulai didekati secara sistematis oleh Brigade Manguni. Salah satu yang mempermudah jalan ini adalah keikutsertaan Herman, kakaknya, di dalam brigade ini. Beraneka ragam rencana kerap dibeberkan ke telinganya, namun tak pernah ditanggapinya secara serius. Termasuk rencana kakaknya, Herman, untuk menyabotase sebuah kapal tanker yang akan membawa minyak ke Sumatera. Herman berencana meletakkan dinamit di kayu-kayu penahan dermaga, di mana dinamit ini akan meledak jika tersenggol oleh kapal tanker. Dani menganggap hal itu konyol dan hanya akan membuang-buang waktu dan sangat sia-sia.

Menurutnya, dinamit tidak bakal mampu menjebol beton, ibarat kata hanya seperti memasang petasan, bunyinya besar tetapi efek ledakannya kecil. Lebih gilanya lagi, Herman merencanakan pemasangan dinamit ini dengan menyelam memakai snorkel saat pemasangan.[19] Akan tetapi pikiran gila ini urung dilakukan. Lain kesempatan Herman bermaksud meledakkan kereta api pembawa bensin. Usaha ini pun gagal karena keburu ada pemeriksaan perlintasan rel kereta api. Atau bahkan Herman bersama organisasinya pernah berniat merencanakan penculikan Bung Karno untuk kemudian memaksa Sang Proklamator menghentikan konfrontasi.

Soal hasut menghasut, kehadiran wartawan India yang indekos di rumah orang tuanya, melengkapi semua pengaruh yang diterimanya. Kokar nama wartawan India itu. Ia banyak bertutur mengenai ketimpangan pembangunan sarana-prasarana di Manado dan ia usai mengadakan kunjungan dari sana. Penuturan-penuturan inilah yang membuat Dani, secara perlahan namun pasti—seiring perjalanan waktu, akhirnya berminat masuk Brigade Manguni dan turut serta ambil bagian rencana-rencananya.

Peristiwa 9 Maret 1960 itu merupakan bagian dari rencana makar yang sudah direncanakan sejak tanggal  2 Maret 1960, berbarengan dengan hari jadi Permesta. Akan tetapi pelaksanaan rencana hari yang ditentukan (2 Maret) dan keesokan harinya (3 Maret) gagal. Meskipun gagal rencana makar tak pernah padam. Bahkan, Dani berjanji akan membantu semaksimal mungkin dan meminta untuk segera disampaikan rencana tersebut kepada Sukanda Bratamanggala, eks kolonel dan menjadi pimpinan Front Pemuda Sunda (FPS), Legiun Sunda.[20] Serangan tersebut akan bergerak dari Bandung menuju Jakarta.

Seputar kegagalan rencana penyerangan tanggal 2 Maret itu, Maukar sempat menanyakannya secara langsung kepada beberapa pihak Brigade Manguni yang bisa bertanggung jawab mengambil keputusan, ketika kebetulan ada misi penerbangan ke Paris van Java, Bandung. Ditanyai begitu sejumlah pihak yang ditemuinya malah kelihatan grogi. Hal ini terbukti dari jawaban-jawaban mereka yang tidak masuk akal. Mereka bilang tanggalnya tidak cocok-lah, harinya bukan hari baik-lah atau masih tunggu tanda dari atas. Akhirnya setelah ada perdebatan panjang mengenai hal tersebut, Maukar lantas menemui Mayor Sutisna. Dalam pertemuan ini Maukar diberi briefing (pengarahan) daerah mana yang akan menjadi sasaran.

Awalnya Sutisna meminta Maukar menembaki Lapangan Terbang Halim Perdana Kusuma, namun Maukar menolak dengan alasan Halim adalah rumahnya. Ia meminta jika ingin membuat sasaran, jangan jadikan AURI sebagai sasaran. Berikutnya hasil pertemuan itu menyepakati tiga target yang harus dibombardir Maukar. Istana Merdeka, tangki bahan bakar di Tanjung Priok, dan Istana Bogor. Dan usai membombardir tempat-tempat tersebut, ia akan dilarikan ke Singapura. Akan tetapi, Dani menolak butir terakhir. Ia takut nanti keluarganya yang ada di sini akan diincar pemerintah.[21]

Karena menolak akhirnya disepakati kalau pendaratan darurat Maukar akan diatur di kawasan Darul Islam di Jawa Barat. Kota Malambong dan Panumbangan yang terpilih sebagai tempat pendaratan karena selain termasuk kawasan DI, dua tempat tersebut kebetulan sedang dikuasai oleh Batalion 324, yaitu batalion yang sengaja dikirim dari Sulawesi Utara untuk menumpas gerombolan DI. Karena masih memiliki darah Manado, para konseptor pemboman yakin Dani akan diselamatkan oleh mereka. Dalam hal konsep penyerangan ini, peran Sutisna sangat menentukan.

Bersambung ke [Sejarah Indonesia] Usaha Percobaan Pembunuhan Sukarno Oleh Maukar - Bagian 2
[Footnote]
[1] Harian Rakjat, 10 Maret 1960.
[2] Ibid.
[3] angkasa-online.com, edisi 10 Juli 2007.
[4] angkasa-online.com, edisi 9 Juni 2007.
[5] Ibid. Angkasa.com
[6] Ibid. Angkasa.com
[7] R.Z. Leirissa, PRRI Permesta, Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991, hlm. 39.
[8] Barbara Sillars Harvey, Permesta; Pemberontakan Setengah Hati, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989, hlm. 200.
[9] Baca: Marwati Djoened Poesponegoro, dkk., Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta: Balai Pustaka, 1993, hlm. 278.
[10] Tempo, Edisi, 17 Agustus 2007, hlm. 47.
[11] Barbara Sillars Harvey, Permesta; Pemberontakan Setengah Hati, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989, hlm. 68.
[12] Ibid., hlm. 69.
[13] Ibid., hlm. 31.
[14] Baca: R.Z. Leirissa, PRRI Permesta, Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991.
[15] Barbara Sillars Harvey, Op.Cit., hlm.164.
[16] Ibid., hlm 164-165.
[17] Barbara Sillar Harvey, Op.Cit., hlm 189.
[18] Harian Rakjat, 10 Maret 1960.
[19] Ibid. Angkasa.com.
[20] Lihat: Super Milan. Tanggal akses 6 Desember 2008. Dalam catatan sejarah Bratamanggala pernah dikenal sebagai pimpinan eks laskar di Jakarta yang tergabung ke dalam Kobra alias Kolonel Bratamanggala. Mereka adalah eks anak buah Bratamanggala yang pernah berjuang di wilayah Jawa Barat. Daerah kekuasaan kelompok ini adalah pasar dan kantong-kantong perdagangan. Di tempat-tempat inilah Kobra "berkuasa" dan menancapkan pengaruhnya sebagai jagoan atau preman dalam istilah sekarang.
[21] Ibid., Angkasa.com.

Presiden SBY Pernah Sedih Waktu Gus Dur Tak Menunjuknya Jadi KSAD

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengaku sempat sedih kala dirinya masih menjadi di TNI. Pasalnya, pada 1999, Presiden Abdurrahman Wahid a.k.a Gus Dur tak memilihnya sebagai KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat). Padahal, Panglima TNI sudah menggadang-gadang namanya...

"Dengan suatu pertimbangan tertentu dan masukan dari pihak-pihak tertentu, singkatnya Presiden tidak memilih saya jadi KSAD," demikian SBY menulis dalam bukunya yang berjudul SBY Selalu Ada Pilihan, sebagaimana mengutip dari laman Liputan6.com.

"Saya dan keluarga sungguh sedih, karena sebagai perwira lulusan Akademi Militer tentulah menjadi pucuk pemimpin Angkatan Darat adalah sebuah dambaan dan cita-cita besar," tukasnya lebih lanjut.

Presiden SBY pernah sedih waktu Gus Dur tak menunjuknya jadi KSAD

Walau sedih gara-gara tak dipilih jadi KSAD, Susilo Bambang Yudhoyono mengaku tak marah dan membuat jurang permusuhan antara dirinya dengan Gus Dur. Dia mengira semuanya merupakan takdir Tuhan. "Tidak pernah mengatakan Presiden saya bodoh serta salah."

Ketika dirinya menjadi Presiden, SBY mengerti bagaimana rasanya berposisi jadi pemimpin. Walau begitu, beliau mengaku tak bosan melakoni tugas serta pekerjaan sebagai presiden.

"Tetapi, soal 'kehilangan banyak teman', tampaknya seperti benar adanya," demikian SBY menutupnya dalam bagian 'Kemarahan "Calon" yang Tidak Jadi' itu.

3 Pesawat Kepresidenan dari Waktu ke Waktu

Waktu Jusuf Kalla masih menjabat wapres, ada pengalaman buruk yang pernah dialaminya saat naik pesawat kepresidenan. Bulan Juli 2006, wapres terbang dari Jakarta ke Bandara Polonia, Medan, dengan pesawat kepresidenan Fokker 28 TNI AU.

Apa yang terjadi?

Sejumlah kaca kokpit retak. Pesawat cadangan pun dikirim dari Halim. Wapres segera mengemukakan planning lamanya yang sempat tertunda untuk mengganti pesawat kepresidenan yang sudah ada. "Umurnya kan sudah 30 tahun. Jadi, harus diganti yang lebih baik lagi," ujar Kalla ketika itu.

Sudah sejak masa Presiden Soekarno, beragam pesawat digunakan untuk kunjungan resmi. Berikut ini ulasannya.

3 Pesawat Kepresidenan dari Waktu ke Waktu

1. Pesawat Kepresidenan Bung Karno

Saat menjabat presiden, Bung Karno memakai dua pesawat kepresidenan dari jenis C-140 Jetstar. Pesawat yang diproduksi oleh Lockheed itu dinamai Pancasila dan Saptamarga. Kini, salah satu pesawat ini menghuni Museum Dirgantara di Yogyakarta. Sesudah memakai Jetstar, pesawat yang kemudian dipakai Bung Karno adalah Ilyushin Il-14, hibah dari Pemerintah Rusia. Pesawat berbaling-baling ganda yang dinamai Dolok Martimbang itu dioperasikan Skadron 17 AURI.

2. Pesawat Kepresidenan Soeharto


Presiden Soeharto menggunakan beberapa jenis pesawat. Pada masa awal pemerintahan, untuk kunjungan dalam negeri, Presiden Soeharto menggunakan Hercules C-130 milik TNI AU. Pesawat Douglas DC-8 juga sempat digunakan untuk kunjungan ke luar negeri. Kunjungan dalam negeri lainnya, Soeharto kerap menggunakan beberapa pilihan. Ada Avro RJ-185 milik Pelita Air Service.

Lalu Fokker F-28, yang dioperasikan perusahaan penerbangan Pelita Air Service. Pesawat lainnya adalah British Aerospace 146, yang mampu membawa 100 penumpang. Untuk kunjungan ke luar negeri, Soeharto menggunakan Airbus A330 milik Garuda.

3. Pesawat Kepresidenan SBY

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih menggunakan beberapa pesawat yang digunakan pendahulunya, seperti Airbus A330-341 dan A330-300 milik Garuda. Pesawat itu dimodifikasi sesuai tingkat kebutuhan presiden dan bisa memuat maksimal 140-an penumpang. Airbus biasa digunakan SBY bila berkunjung ke luar negeri. Untuk mengunjungi pelosok Indonesia, SBY tetap memakai Avro RJ-185 milik Pelita Air Service.

Pesawat buatan tahun 1992 ini dibeli Pertamina pada era Presiden Soeharto dan dijadikan pesawat khusus kepresidenan. Semua, presiden--dari Presiden Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, hingga Megawati Soekarnoputr--memilih pesawat ini jika bepergian di dalam negeri.

Fokker 28 milik TNI AU termasuk yang masih digunakan SBY. Pesawat yang dibuat tahun 1975 biasanya dipilih untuk menemani kunjungan dalam negeri. Pesawat lain yang juga dipakai SBY adalah Boeing 737-200 milik TNI AU yang diproduksi pada 1981. Untuk helikopter, SBY biasa mengunakan helikopter Super Puma SA-330 dan SA-332 milik TNI AU.

Di penghujung kepemimpinanya, Presiden SBY mengklaim memberikan warisannya bagi penerusnya. "Kalau (pesawat) itu jadi, pada 2013, saya hanya setahun menggunakannya. Bagus kalau pemerintahan yang akan datang bisa lebih efisien dan bisa menggunakan yang lebih baik," katanya pada 13 Februari 2012. [TEMPO]

Sikumbang, Pesawat Indonesia untuk Misi Pengintaian Sekaligus Penyerangan

Sikumbang, Pesawat Indonesia untuk Misi Pengintaian Sekaligus Penyerangan
Pada 1 Agustus 1954, sebuah pesawat tempur Indonesia yang cukup ringan mengudara langit di Indonesia. Nama pesawat itu adalah NU-200 Sikumbang, yang saat ini sudah berubah fungsi menjadi monumen di kawasan pabrik PT DI (Dirgantara Indonesia). Berikut ini merupakan penjelasan lebih detail mengenai filosofi dan hasil uji terbang Sikumbang, yang pernah ditulis Mayor Udara Nurtanio selaku perancang dan pembuat pesawat Indonesia ini di Majalah Angkasa edisi TH.VI Oktober 1955.


*

Ada salah kaprah dalam penggolongan jenis pesawat Sikumbang. Dalam literatur masa kini, disebutkan Sikumbang adalah jenis pesawat anti-gerilya (Counter Insurgency). Namun pada kenyataannya, Nurtanio merancang Sikumbang sebagai pesawat pengintai ringan bersenjata. Dalam benak Nurtanio, pesawat-pesawat yang dioperasikan AURI (sebutan TNI AU zaman dulu, red.) medio 1950-an belum ada yang tepat untuk melakukan misi pengintaian bersenjata. AURI memang sudah mengoperasikan pesawat intai Auster atau L-4J. Namun pesawat itu dinilai terlalu lamban, serta tidak dilengkapi senjata. Alhasil sasaran-sasaran yang telah ditemukan akan dibiarkan terlebih dahulu. Namun, dengan pesawat semacam Sikumbang, maka sasaran bisa langsung ditindak. Sementara, jika pengintaian menggunakan pesawat Mustang atau Jet, maka hasilnya tidak optimal lantaran dinilai terlalu cepat. Lebih daripada itu, Nurtanio juga membayangkan, Sikumbang ini nanti bisa menembak jatuh pesawat intai yang terbang sangat pelan, dimana pesawat sejenis itu justru sukar ditembak pesawat pemburu berkecepatan tinggi.

Sikumbang, Pesawat Indonesia untuk Misi Pengintaian Sekaligus Penyerangan
Selanjutnya, dalam hal perancangan, Nurtanio juga memikirkan banyak hal terkait proses produksi nantinya serta operasional. Nurtanio sangat menggaris bawahi, bahwa pesawat ini harus dapat dibuat sendiri oleh AURI, meski mesin tetap beli dari luar negeri. Lalu ongkos operasional yang lebih murah dari pesawat Harvard atau Mustang. Desain pesawat Sikumbang akan dibuat dengan sederhana, sehingga penerbang-penerbang AURI dapat mudah mengemudikan, tanpa perlu latihan transisi yang panjang dari pesawat lain. Kesederhanaan pesawat juga diperlukan agar pesawat bisa operasional di garis depan tanpa dukungan memadai. Untuk misi pengintaian, kanopi akan dibuat lebar dan leluasa, sehingga pilot mempunyai bidang pandang yang baik untuk misi pengintaian dan penyerangan. Selain itu, Sikumbang juga bisa digunakan untuk Gerilya Udara maupun Lawan Gerilya. Filosofi demikian ini tentu mengingatkan kita pada pesawat OV-1 Mohawk atau OV-10 Bronco yang muncul beberapa dekade setelahnya. Sungguh luar biasa pemikiran para pendahulu kita itu.

Untuk memenuhi hal tersebut maka Sikumbang harus memenuhi beberapa syarat. Di antaranya, konstruksi pesawat musti amat sederhana namun kuat, sehingga bisa mendarat di lapangan kecil dan kasar seukuran 30x350 meter, serta gampang diperbaiki meski di garis depan. Untuk misi pengintaian, pesawat diharapkan dapat terbang cukup pelan dan stabil dengan kecepatan sekitar 80 mil/jam. Namun demikian, untuk pertahanan diri, serta memburu pesawat intai (capung) musuh, Sikumbang mampu melaju hingga 160 mil/jam. Sikumbang juga dipersyaratkan mudah dikemudikan dan manuverability-nya bagus. Untuk eksekusi sasaran darat dan udara, nantinya Sikumbang akan dilengkapi dengan 2 buah senapan mesin kaliber 7,7mm dan tambahan 4 buah roket atau 2 buah bom napalm. Komunikasi dengan pasukan di darat pun sudah dipikirkan dengan menempatkan radio secukupnya.

Sikumbang, Pesawat Indonesia untuk Misi Pengintaian Sekaligus Penyerangan
Namun demikian, pada saat proses pembuatannya ternyata tidak lah mudah. Hambatan utama datang dari material dan bahan pembuatan pesawat. Untuk membuat prototipe pertama ini, Nurtanio dan kawan-kawan menggunakan bahan-bahan yang sudah tak terpakai oleh AURI, alias rongsokan. Hal ini bisa diduga lantaran situasi negara yang belum benar-benar stabil, sehingga dukungan keuangan untuk mencari bahan ke luar pun sangat terbatas.

Kesulitan utama yang dihadapi tim perancang adalah dari mesin. Menurut literaturnya mesin De Havilland Gipsy Six mampu menyemburkan tenaga sebanyak 200HP. Namun kenyataannya, mungkin lantaran sudah tua dan bekas, saat dipasangkan mesin hanya mampu menggenjot hingga 175HP saja. Ditambah bobot mesin yang cukup berat, yaitu sekitar 450 lbs, maka kemampuan Sikumbang pun melorot jauh dari persyaratan yang diminta. Namun Nurtanio sendiri sudah mencatat kelemahan itu. Ia berharap, pada seri produksi akan digunakan mesin Continental 470-A yang memiliki daya 225HP namun beratnya hanya 350lbs.

*

Demikian penjelasan detail mengenai pesawat tempur Indonesia bernama NU-200 Sikumbang.

Sejarah Indonesia: Resimen Tjakrabirawa, Pasukan Elite Pengawal Presiden Soekarno

Sejarah Indonesia: Resimen Tjakrabirawa, Pasukan Elite Pengawal Presiden Soekarno
Tahukah kamu untuk apa Tjakrabirawa diadakan?
Setialah kepada tugasmu!
Aku melimpahkan kepercayaan penuh kepadamu!

Presiden/Panglima Tertinggimu

Soekarno
Jakarta 5 Oktober 1962


Demikian pesan Presiden Soekarno kepada segenap anggota Resimen Tjakrabirawa. Pasukan elite yang baru dibentuk 6 Juni 1962. Tepat di hari ulang tahun Bung Karno ke-61. Tjakrabirawa dibentuk khusus untuk mengawal keselamatan Soekarno dan keluarganya. Personelnya dipilih dari pasukan terbaik empat angkatan. Angkatan Darat mengirimkan Batalyon Banteng Raiders, Angkatan Laut mengirim Korps Komando Operasi (KKO), Angkatan Udara mengirim Pasukan Gerak Tjepat (PGT), dan Polisi mengirim Resimen Pelopor.

Seluruh anggotanya wajib punya kemampuan terjun payung dan pernah memiliki pengalaman perang gerilya. Soekarno sendiri yang memilih nama Tjakrabirawa, dari senjata sakti milik Batara Kresna. Semboyannya 'Dirgayu Satyawira' berarti pasukan setia berumur panjang. Soekarno juga yang mendesain baju dan perlengkapan pasukan pengawalnya.

Berdasarkan data dari sejarah Indonesia, pembentukan Tjakrabirawa dianggap perlu oleh Menteri Pertahanan kala itu, yakni Jenderal Nasution. Sebabnya, sudah terjadi tiga kali percobaan pembunuhan pada Presiden Soekarno terus terjadi. Mulai dari serangan pesawat oleh Daniel Maukar, penggranatan di Makassar dan Cikini, hingga penembakan saat Salat Idul Adha di istana.

Awalnya Soekarno menolak. Dia merasa pengawalan Detasemen Kawal Pribadi (DKP) yang berkekuatan belasan polisi istimewa ini sudah cukup. Namun para pimpinan tentara berhasil mendesak Soekarno untuk membentuk sebuah pasukan elite pengawal presiden.

"Pada hari kelahiranku di tahun 1962, dibentuklah pasukan Tjakrabirawa. Satu pasukan khusus dengan kekuatan 3.000 orang yang berasal dari keempat angkatan bersenjata. Tugas pasukan Tjakrabirawa adalah melindungi presiden," kata Soekarno dalam biografinya yang ditulis Cindy Adams.

Menurut Soekarno, tugas Tjakrabirawa tak cuma mengawal. Ada juga yang menyediakan grup band dan menghibur dirinya. Mereka juga bertugas mencicipi makanan sebelum disantap oleh Soekarno. Diakuinya juga, Tjakrabirawa menjaganya rapat. Mereka selalu mengamankan gerak-gerik Soekarno. Awalnya Soekarno merasa kagok juga, tapi dia lalu terbiasa. "Satu-satunya yang yang tidak dapat dijaga oleh Tjakrabirawa adalah kesehatanku. Aku punya satu ginjal yang membatu," canda Soekarno .

Ajudan senior presiden, Kolonel Sabur menjadi komandan pertama Resimen Tjakrabirawa. Pangkatnya dinaikkan menjadi brigadir jenderal. Sementara Kolonel Maulwi Saelan menjadi wakilnya. Wakil Komandan Tjakrabirawa Kolonel (Purn) Maulwi Saelan yang kami temui menjelaskan Soekarno sangat dekat dengan para pengawalnya. Soekarno hapal dengan anggota Tjakrabirawa yang biasa bertugas di sampingnya.

"Bung Karno itu sangat egaliter. Saya pernah berdebat dengannya, sampai mukanya merah padam karena marah. Beliau lalu masuk kamar. Beberapa saat kemudian beliau panggil saya. Saya tegang, wah mau dipecat saya, pikir saya. Ternyata Bung Karno bilang, Saelan, kamu yang benar. Luar biasa beliau mau mengakui dirinya salah, padahal berdebat dengan bawahan," puji Saelan.

Sayang, tak seperti harapan Soekarno, Tjakrabirawa tak berumur panjang. Sebagian kecil pasukan elite ini terlibat drama sejarah Indonesia kelam penculikan para jenderal dalam peristiwa G30S. Tak semua terlibat, hanya sekitar 60 orang di bawah pimpinan Letkol Untung yang mengikuti aksi itu. Namun semua terkena imbasnya.

Umur resimen Tjakrabirawa hanya seumur jagung. Dibubarkan jenderal Soeharto di senjakala kekuasaan Soekarno yang makin meredup. Seperti kata pepatah, karena nila setitik hancur susu sebelanga. Usai pembubaran Tjakrabirawa, arah dan kisah sejarah Indonesia memulai babak baru. Mulai dari pembantaian para pelaku penculikan hingga orang-orang yang dianggap komunis. Babak baru sejarah Indonesia yang harus melalui stempel Orde Baru.

Sumber: Merdeka

Biografi Pahlawan Nasional: Cut Nyak Dien Sang “Ratu Aceh”

Mendekati kekalahannya, Cut Nyak Dien terpojok! Namun, pejuang wanita yang masih ada keturunan Sultan Aceh ini menolak menyerah!

Ringkasan Biografi Cut Nyak Dien

Foto pahlawan nasional dalam biografi pahlawan nasional Cut Nyak Dien
Wikipedia.
Salah seorang tokoh pahlawan nasional kali ini, yang hendak saya ulas adalah sang “Ratu Aceh”. Siapa dia? Tak lain tak bukan adalah Cut Nyak Dien.

Ya, Cut Nyak Dien yang juga seorang pejuang asal Aceh ini lahir sekira tahun 1848 dari keluarga bangsawan Aceh. Menurut catatan sejarah Indonesia, Cut Nyak Dien masih memiliki garis keturunan langsung dari Sultan Aceh dari garis ayahnya. Di usianya yang masih belia, yakni 14 tahun, Cut Nyak Dien dinikahkan dengan Teuku Ibrahim Lamnga. Dari pernikahan ini lahir seorang anak laki-laki.

Ketika Perang Aceh meletus tahun 1873, Cut Nyak Dien berada di garis depan pertempuran melakukan perlawanan terhadap Belanda yang memiliki alutsista lebih lengkap dan modern. Namun, itu tak berarti, Cut Nyak Dien bisa ditaklukkan dengan mudah. Dalam masa periodenya, Belanda membutuhkan waktu selama bertahun-tahun untuk “menekannya” sampai dia dan anak buahnya memutuskan mengungsi ke daerah di Aceh yang lebih terpencil.

Suami pertama Cut Nyak Dien, Teuku Ibrahim Lamnga, gugur saat pecah perang di Sela Glee Tarun. Di sinilah, muncul tokoh pahlawan nasional lainnya, yakni Teuku Umar, yang kelak menjadi suami kedua bagi Cut Nyak Dien sekaligus rekan seperjuangan.

Bersama-sama, keduanya membangun kembali kekuatan untuk “menghajar” markas Belanda di sejumlah titik penting. Namun, duka kembali merundung Cut Nyak Dien. Pada 11 Februari 1899, kembali dia harus kehilangan orang yang disayanginya saat Teuku Umar gugur di medan perang. Kekuatan militer pasukan Cut Nyak Dien pun melemah. Mereka hanya bisa menghindar dari tekanan Belanda yang terus mengejar.

Tak hanya pasukan yang melemah, rupanya kondisi fisik dan psikis Cut Nyak Dien pun turut drop. Walaupun, tetap saja dia dan pasukannya melakukan pertempuran demi pertempuran. Melihat situasi yang genting, Pang Laot Ali sang panglima perang berdiskusi dengan Cut Nyak Dien mengenai penyerahan dirinya kepada Belanda. Tujuannya supaya Belanda tak mengganggu rakyat Aceh lagi. Namun, Cut Nyak Dien marah. Dia memerintahkan untuk terus bertempur sampai akhir.

Karena kekuatan militer pasukan Cut Nyak Dien melemah, pihak Belanda dengan mudah menangkapnya. Namun tidak dibunuh. Hal ini demi menghindari konflik yang lebih luas akibat pengaruh Cut Nyak Dien yang cukup kuat terhadap rakyat Aceh. Karena itu, pihak Belanda mengasingkannya ke Jawa Barat, tepatnya ke Sumedang. Di sinilah Cut Nyak Dien berada, hingga akhir hayatnya mengajar agama Islam. Tak ada masyarakat sekitar yang mengetahui siapa dia sebenarnya.

Pada 6 November 1908, ketika pergerakan nasional Indonesia dimulai, Cut Nyak Dien menghembuskan napas pungkasan di tempat pembuangannya. Hingga tahun 1960-an, tak ada yang mengetahui secara pasti di mana makam Cut Nyak Dien berada. Baru setelah Pemda Aceh dengan sengaja melakukan penelusuran makamnya pun ditemukan.

Perjuangan Cut Nyak Dien yang pantang menyerah membuat seorang penulis Belanda, Ny Szekly Lulof, terinsiprasi sekaligus kagum. Dia pun lantas menjuluki Cut Nyak Dien sebagai "Ratu Aceh". Demikianlah, ringkasan biografi pahlawan nasional: Cut Nyak Dien. Semoga memberi manfaat!

Diadaptasi dari Angkasa

Sejarah Jepang Masuk ke Indonesia

Pada 1 Maret 1942, Jepang sukses mendaratkan serdadu-serdadunya di tiga titik di Jawa, yakni: Teluk Banten, Eretan Wetan (Jawa Barat), serta Kranggan (Jawa Tengah). Keadaan ini mengubah suhu politik di Indonesia kala ini. Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, yang masih memerintah saat itu pun segera menyerah tanpa syarat kepada Jepang di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura. Untuk melakukan serah terima kekuasaan diadakan pertemuan kedua belah pihak di Kalijati tanggal 8 Maret 1942.

Pertemuan ini menandai akhir pemerintah kolonial Belanda, kemudian menempatkan Pemerintah Militer Jepang sebagai penguasa baru Indonesia sementara waktu. Sambil menunggu kedatangan para ahli pemerintahan sipil datang ke Indonesia (baca: Perintah Pertama Pemerintah Militer Indonesia), Jepang membentuk pemerintah militernya. Mereka kemudian membagi kekuasaannya menjadi tiga wilayah komando, yakni tentara ke-16 di pulau Jawa dan Madura yang berpusat di Batavia, tentara ke-25 di Sumatera yang berpusat di Bukit Tinggi dan armada selatan ke-2 di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua Barat yang berpusat di Makassar.

Sejarah indonesia, Sejarah Jepang Masuk ke Indonesia

Tentara angkatan ke-16 pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura diberikan mandat untuk memegang kekuasaan di wilayah Jawa. Pada umumnya Jawa dianggap sebagai daerah yang secara politik paling maju namun secara ekonomi kurang penting, sumber dayanya yang utama adalah manusia. Hal ini memang sangat dibutuhkan oleh Jepang, mengingat niat awal mereka untuk menduduki kawasan Asia Tenggara adalah membangun Kawasan Persemakmuran Bersama Asia Raya.

Pada awal kedatangannya Jepang disambut baik oleh orang-orang Jawa yang beranggapan bahwa kedatangan tentara Jepang sesuai dengan ramalan Joyoboyo. Oleh sebab itu, ketika tentara Jepang mendirikan pemerintahan militernya orang-orang Jawa menerimanya dengan sukarela. Di samping itu, bagian propaganda (Sendenbu) Jepang telah pula melakukan aksinya dengan berbagai macam pendekatan terhadap rakyat, diantaranya; mendirikan Gerakan Tiga A dengan slogannya yang terkenal: Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Saudara Asia; mengangkat orang-orang pribumi dalam pelbagai pemerintahan yang prinsip turun-temurunnya dihapuskan; menetapkan wilayah-wilayah voorstenlanden sebagai kochi (daerah istimewa).

Maksudnya agar tentara Jepang yang mendirikan pemerintah militernya dapat diterima oleh penduduk pribumi. Tujuan utama pendudukan Jepang di Jawa adalah menyusun dan mengarahkan kembali perekonomian peninggalan pemerintah Hindia Belanda dalam rangka menopang upaya perang Jepang dan rencana-rencananya bagi ekonomi jangka panjang terhadap Asia Timur dan Tenggara. Tujuan utama ini mengarahkan kebijakan-kebijakan pemerintah militer untuk menghapuskan pengaruh-pengaruh barat di kalangan rakyat Jawa dan memobilisasi rakyat Jawa demi kemenangan Jepang dalam perang Asia Timur Raya. Sejak membentuk pemerintahan militernya, Jepang membuat banyak sekali perubahan dalam bidang pemerintahan. Perubahan tersebut terjadi di tingkat atas maupun di tingkat bawah.

Tanggal 1 Agustus 1942, saat dikeluarkannya undang-undang perubahan tata pemerintahan di Jawa, Jepang menetapkan bahwa seluruh daerah di Jawa dibagi menjadi Syu, Si, Ken, Gun, Son, dan Ku, kecuali Surakarta dan Yogyakarta yang ditetapkan sebagai kooti (kerajaan) dan Batavia sebagai Tokubetsu Si (ibukota pemerintah militer). Pembagian pulau Jawa atas provinsi-provinsi juga dihapuskan.

Sejarah Jepang masuk ke Indonesia, khususnya ketika menduduki Pulau Jawa tahun 1942-1945 telah membawa banyak perubahan yang sangat berarti bagi perkembangan Jawa di masa berikutnya. Periode ini merupakan salah satu bagian dari perjalanan penting sejarah besar bangsa ini untuk melangkah ke masa depan. Masa ini telah terjadi berbagai perubahan yang mendasar pada alam sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Masa pendudukan Jepang di Indonesia selama tiga setengah tahun tersebut sering dipandang sebagai masa yang singkat tetapi akibat yang diterima oleh masyarakat sebanding dengan masa penjajahan Belanda sebelumnya dengan jangka waktu yang lebih lama.[]