Pria kelahiran Bogor ini meretas semua ucapan miring mengenai penerbangan dan mencetak sejarah di dalamnya.
Nama Hein ter Poorten dikenal dalam buku pelajaran sejarah Indonesia sebagai Panglima KNIL (Koninklijke NederlandscheIndische Leger) saat Jepang menyerang Hindia Belanda. Tapi tidak banyak yang tahu bahwa ter Poorten adalah pilot militer pertama yang terbang di langit Nusantara.
Lahir di Buitenzorg (Bogor) pada 21 November 1887 sebagai putra dari pasangan Franciscus Hendricus ter Poorten dan Clasina Ambrosina Kater. Tidak ingin mengikuti jejak ayahnya yang bekerja sebagai kepala pelabuhan, ter Poorten memutuskan masuk militer dan dididik di Belanda.
Awalnya di sekolah kadet Alkmaar, berlanjut ke Akademi Militer Kerajaan Breda, dan lulus sebagai letnan dua artileri pada 25 Juli 1908. Pada tahun itu, Eropa sedang euforia dunia penerbangan. Demo terbang Flyer (Model A) di Perancis telah memacu baik industri atau perseorangan untuk berlomba-lomba membuat dan menerbangkan pesawat terbang.
Sayangnya pihak militer masih tidak terlalu yakin tentang masa depan pesawat terbang, khususnya masalah keamanan yang telah meminta banyak korban pada awal perkembangannya. Tidak berbeda dengan militer Belanda/Hindia Belanda, hanya sedikit petinggi militer yang mau mendukung teknologi baru ini.
Berbeda sikap perwira-perwiranya yang justru bersemangat termasuk ter Poorten. Balon menjadi “mata” bagi artileri, dan sebagai perwira artileri ter Poorten telah memiliki brevet balon, tapi pesawat terbang merupakan hal berbeda dan teramat menarik perhatiannya. Maraknya demonstrasi terbang —termasuk berubahnya pandangan pihak milter— memacu semangatnya untuk masuk sekolah pilot dan mendapatkan brevet penerbang.
Atasannya mendukung walaupun dia terpaksa mengeluarkan uang sendiri untuk belajar karena KNIL tidak memiliki anggaran pada waktu itu. Salah satu sekolah pilot berkualitas, dan mahal, adalah sekolah pilot Bleriot. Lulus dari sana akan mendapatkan brevet prestise Aero Club de France (cikal bakal FAI/Fédération Aéronautique Internationale) dan pilot-pilot ini dibayar tinggi oleh pabrik pesawat untuk menerbangkan pesawat buatannya atau mendemonstrasikan terbang saat pameran kedirgantaraan.
Nama-nama seperti J.F. van Riemsdijk, Clëment van Maasdijk, dan Gijs Küller adalah pilot terkenal asal Belanda lulusan sekolah pilot Bleriot. Yang terakhir bahkan pernah mendemonstrasikan kemampuan terbangnya di Hindia Belanda pada Maret 1911.
Pilot militer pertama
Karena uang terbatas, ter Poorten memilih sekolah pilot Aviator di Antwerpen, Belgia. Harga memang berbanding lurus dengan kualitas. Berbeda dengan sekolah pilot Bleriot yang punya puluhan pesawat dan instruktur berpengalaman, Aviator hanya punya dua unit Farman Biplane, instrukturnya bahkan baru saja meraih brevet seminggu sebelumnya.
Salah satu pesawat itu akhirnya jatuh saat dikemudikan instruktur yang juga ikut tewas. Satu pesawat yang tersisa juga jatuh tak beberapa lama yang menewaskan salah satu siswanya. Aviator bangkrut tapi untungnya, pabrik pesawat Leon de Broucker mengambil alih sehingga pendidikan bisa diteruskan.
Letnan Satu ter Poorten akhirnya mendapat brevet yang diidam-idamkannya pada 30 Agustus 1911 dan menjadikannya sebagai pilot militer Belanda/Hindia Belanda yang pertama. Sebagai pembuktian, pada September 1911 dengan meminjam salah satu pesawat de Broucker Biplane, ter Poorten terbang selama satu setengah jam dari Belgia menuju Lapangan Terbang Pettelaar untuk ikut serta dalam pameran kedirgantaraan militer Belanda.
Keikutsertaanya dalam demonstrasi terbang ini dan prestasi sebagai pilot militer Belanda/Hindia Belanda yang pertama, membuat dirinya dianugrahi penghargaan Order of Orange-Nassau with Sword oleh Kerajaan Belanda.
Situasi Hindia Belanda ketika kepulangan ter Poorten masih diliputi suasana pesimis. Ini dikarenakan banyaknya informasi simpang siur seperti pendapat Kouzminsky yang gagal terbang dengan Bleriot XI di Batavia, menyatakan bahwa kegagalannya disebabkan kondisi tropis dan atmosfernya yang tidak cocok buat penerbangan.
Pendapat tersebut tidak ditelan mentah-mentah dan menganggap kegagalan itu lebih karena ketidakmampuannya. Tapi pendapat bahwa kelembaban tropis mempengaruhi daya tahan konstruksi kayu pada pesawat itu benar adanya. Oleh karena itu, tiga unit Deperdussin yang baru saja sampai, masih dalam peti kemas, dikirim kembali kepada de Broucker untuk menganti konstruksi kayu dengan baja.
Sayangnya proses modifikasi itu bersamaan dengan pecahnya Perang Dunia I sehingga terkatung-katung dan bahkan tak ada kabar sama sekali. Padahal lewat Surat Keputusan No. 39 telah terbentuk Bagian Terbang Percobaan KNIL/Proefvliegafdeling-KNIL (PVA-KNIL) pada 30 Mei 1914. Sebuah organisasi penerbangan militer tapi tak memiliki satu pun pesawat terbang!
PVA-KNIL berinisiatif membeli pesawat baru, tapi Eropa sedang sibuk demi kebutuhan perang. Satu-satunya alternatif adalah membeli dari AS. Komite PVA-KNIL yang terdiri atas Kapten Visscher dan Letnan ter Poorten berangkat ke San Fransisco pada akhir Januari 1915.
Selama tiga bulan berkeliling AS, mereka memutuskan pada tahap pertama membeli dua unit pesawat tipe (Glenn) Martin TA Hydroplane. Pemilihan pesawat air ini sengaja dilakukan karena bisa dioperasikan tanpa perlu membangun lapangan terbang yang dinilai mahal, merepotkan, dan memakan waktu.
Selama di AS, ter Poorten terus berlatih terbang bahkan sempat memecahkan rekor lama terbang selama 3 jam 25 menit dari Los Angeles menuju San Diego. Ketika ter Poorten sibuk berlatih di AS, di Hindia Belanda, teknisi PVA-KNIL sibuk mempersiapkan bengkel di Tanjung Priok, Batavia.
Pada 18 Oktober 1915, komite tiba di Pelabuhan Tanjung Priok bersama dengan perwakilan dan mekanik Glenn Martin. Kedua pesawat dirakit selama tiga minggu dan pada 6 November 1915, ter Poorten berhasil melakukan penerbangan selama setengah jam dengan membawa penumpang yaitu mekanik Glenn Martin bernama Stevens. Penerbangan ini tercatat sebagai yang pertama di Hindia Belanda yang dilakukan oleh pihak militer.
Tulisan selengkapnya dapat dibaca di Majalah Angkasa edisi Desember 2012.
(Sudiro Sumbodo. Sumber: angkasa.co.id)
Nama Hein ter Poorten dikenal dalam buku pelajaran sejarah Indonesia sebagai Panglima KNIL (Koninklijke NederlandscheIndische Leger) saat Jepang menyerang Hindia Belanda. Tapi tidak banyak yang tahu bahwa ter Poorten adalah pilot militer pertama yang terbang di langit Nusantara.
Lahir di Buitenzorg (Bogor) pada 21 November 1887 sebagai putra dari pasangan Franciscus Hendricus ter Poorten dan Clasina Ambrosina Kater. Tidak ingin mengikuti jejak ayahnya yang bekerja sebagai kepala pelabuhan, ter Poorten memutuskan masuk militer dan dididik di Belanda.
Awalnya di sekolah kadet Alkmaar, berlanjut ke Akademi Militer Kerajaan Breda, dan lulus sebagai letnan dua artileri pada 25 Juli 1908. Pada tahun itu, Eropa sedang euforia dunia penerbangan. Demo terbang Flyer (Model A) di Perancis telah memacu baik industri atau perseorangan untuk berlomba-lomba membuat dan menerbangkan pesawat terbang.
Sayangnya pihak militer masih tidak terlalu yakin tentang masa depan pesawat terbang, khususnya masalah keamanan yang telah meminta banyak korban pada awal perkembangannya. Tidak berbeda dengan militer Belanda/Hindia Belanda, hanya sedikit petinggi militer yang mau mendukung teknologi baru ini.
Berbeda sikap perwira-perwiranya yang justru bersemangat termasuk ter Poorten. Balon menjadi “mata” bagi artileri, dan sebagai perwira artileri ter Poorten telah memiliki brevet balon, tapi pesawat terbang merupakan hal berbeda dan teramat menarik perhatiannya. Maraknya demonstrasi terbang —termasuk berubahnya pandangan pihak milter— memacu semangatnya untuk masuk sekolah pilot dan mendapatkan brevet penerbang.
Atasannya mendukung walaupun dia terpaksa mengeluarkan uang sendiri untuk belajar karena KNIL tidak memiliki anggaran pada waktu itu. Salah satu sekolah pilot berkualitas, dan mahal, adalah sekolah pilot Bleriot. Lulus dari sana akan mendapatkan brevet prestise Aero Club de France (cikal bakal FAI/Fédération Aéronautique Internationale) dan pilot-pilot ini dibayar tinggi oleh pabrik pesawat untuk menerbangkan pesawat buatannya atau mendemonstrasikan terbang saat pameran kedirgantaraan.
Nama-nama seperti J.F. van Riemsdijk, Clëment van Maasdijk, dan Gijs Küller adalah pilot terkenal asal Belanda lulusan sekolah pilot Bleriot. Yang terakhir bahkan pernah mendemonstrasikan kemampuan terbangnya di Hindia Belanda pada Maret 1911.
Pilot militer pertama
Karena uang terbatas, ter Poorten memilih sekolah pilot Aviator di Antwerpen, Belgia. Harga memang berbanding lurus dengan kualitas. Berbeda dengan sekolah pilot Bleriot yang punya puluhan pesawat dan instruktur berpengalaman, Aviator hanya punya dua unit Farman Biplane, instrukturnya bahkan baru saja meraih brevet seminggu sebelumnya.
Salah satu pesawat itu akhirnya jatuh saat dikemudikan instruktur yang juga ikut tewas. Satu pesawat yang tersisa juga jatuh tak beberapa lama yang menewaskan salah satu siswanya. Aviator bangkrut tapi untungnya, pabrik pesawat Leon de Broucker mengambil alih sehingga pendidikan bisa diteruskan.
Letnan Satu ter Poorten akhirnya mendapat brevet yang diidam-idamkannya pada 30 Agustus 1911 dan menjadikannya sebagai pilot militer Belanda/Hindia Belanda yang pertama. Sebagai pembuktian, pada September 1911 dengan meminjam salah satu pesawat de Broucker Biplane, ter Poorten terbang selama satu setengah jam dari Belgia menuju Lapangan Terbang Pettelaar untuk ikut serta dalam pameran kedirgantaraan militer Belanda.
Keikutsertaanya dalam demonstrasi terbang ini dan prestasi sebagai pilot militer Belanda/Hindia Belanda yang pertama, membuat dirinya dianugrahi penghargaan Order of Orange-Nassau with Sword oleh Kerajaan Belanda.
Situasi Hindia Belanda ketika kepulangan ter Poorten masih diliputi suasana pesimis. Ini dikarenakan banyaknya informasi simpang siur seperti pendapat Kouzminsky yang gagal terbang dengan Bleriot XI di Batavia, menyatakan bahwa kegagalannya disebabkan kondisi tropis dan atmosfernya yang tidak cocok buat penerbangan.
Pendapat tersebut tidak ditelan mentah-mentah dan menganggap kegagalan itu lebih karena ketidakmampuannya. Tapi pendapat bahwa kelembaban tropis mempengaruhi daya tahan konstruksi kayu pada pesawat itu benar adanya. Oleh karena itu, tiga unit Deperdussin yang baru saja sampai, masih dalam peti kemas, dikirim kembali kepada de Broucker untuk menganti konstruksi kayu dengan baja.
Sayangnya proses modifikasi itu bersamaan dengan pecahnya Perang Dunia I sehingga terkatung-katung dan bahkan tak ada kabar sama sekali. Padahal lewat Surat Keputusan No. 39 telah terbentuk Bagian Terbang Percobaan KNIL/Proefvliegafdeling-KNIL (PVA-KNIL) pada 30 Mei 1914. Sebuah organisasi penerbangan militer tapi tak memiliki satu pun pesawat terbang!
PVA-KNIL berinisiatif membeli pesawat baru, tapi Eropa sedang sibuk demi kebutuhan perang. Satu-satunya alternatif adalah membeli dari AS. Komite PVA-KNIL yang terdiri atas Kapten Visscher dan Letnan ter Poorten berangkat ke San Fransisco pada akhir Januari 1915.
Selama tiga bulan berkeliling AS, mereka memutuskan pada tahap pertama membeli dua unit pesawat tipe (Glenn) Martin TA Hydroplane. Pemilihan pesawat air ini sengaja dilakukan karena bisa dioperasikan tanpa perlu membangun lapangan terbang yang dinilai mahal, merepotkan, dan memakan waktu.
Selama di AS, ter Poorten terus berlatih terbang bahkan sempat memecahkan rekor lama terbang selama 3 jam 25 menit dari Los Angeles menuju San Diego. Ketika ter Poorten sibuk berlatih di AS, di Hindia Belanda, teknisi PVA-KNIL sibuk mempersiapkan bengkel di Tanjung Priok, Batavia.
Pada 18 Oktober 1915, komite tiba di Pelabuhan Tanjung Priok bersama dengan perwakilan dan mekanik Glenn Martin. Kedua pesawat dirakit selama tiga minggu dan pada 6 November 1915, ter Poorten berhasil melakukan penerbangan selama setengah jam dengan membawa penumpang yaitu mekanik Glenn Martin bernama Stevens. Penerbangan ini tercatat sebagai yang pertama di Hindia Belanda yang dilakukan oleh pihak militer.
Tulisan selengkapnya dapat dibaca di Majalah Angkasa edisi Desember 2012.
(Sudiro Sumbodo. Sumber: angkasa.co.id)